Bandar Lampung (Lampost.co) – Masyarakat terdampak pembakaran panen tebu di lahan milik perusahaan bisa mengajukan gugatan untuk mendapatkan kompensasi.
Hal itu seiring adanya laporan dari Aliansi Komando Aksi Rakyat (AKAR) Lampung terkait dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Laporan itu terhadap mantan Gubernur Lampung Arinal Djunaidi dan PT Sugar Group Company (SGC) ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung.
Laporan itu terkait penerbitan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 yang mengatur tata kelola panen dan produktivitas tanaman tebu dengan cara pembakaran. Sementara, cara tersebut turut merugikan masyarakat dan lingkungan.
BACA JUGA: Mantan Gubernur Lampung dan PT SGC Dilaporkan ke Kejati, Begini Tanggapan Pengamat
Ahli Hukum Pidana Unila, Rini Fathonah, menjelaskan masyarakat yang merasa rugi dan terdampak aturan itu bisa mengajukan kompensasi.
Masyarakat perlu mendata dan menginventarisasi dampak dari pembakaran tebu tersebut. Hal itu meliputi kerugian masyarakat, baik secara kesehatan maupun lingkungan.
“Jadi harus jelas, misalnya adanya pembakaran tebu membuat banyak warga terkena sesak nafas, ISPA, dan infeksi mata. Selain itu, menimbulkan kerusakan lingkungan dan gagal panen akibat pembakaran itu,” kata Rini, Rabu, 10 Juli 2024.
Dia turut menyayangkan adanya Pergub yang membolehkan pembakaran saat proses panen tebu. Padahal, Sumatra termasuk Lampung merupakan titik rawan kebakaran yang seharusnya mendapatkan atensi dari pemerintah.
Dalam membuat peraturan, kepala daerah seharusnya mampu melihat dampak secara luasnya. Sehingga, peraturan itu harus mengatasnamakan kesejahteraan masyarakat bukan malah sebaliknya.
“Kalau kebalikannya berarti ada celah terjadi penyalahgunaan kewenangan penguasa,” kata dia.
Meski begitu, ia menilai harus ada pembuktian lebih lanjut untuk memastikan keputusan hukum yang tepat atas persoalan tersebut. “Apakah ada deal-deal politik, gratifikasi, atau lainnya. Semuanya perlu pembuktian lebih lanjut,” kata dia.