Sri Agustina Wartawan Lampung Post
KASUS tewasnya tiga anggota kepolisian dalam penggerebekan perjudian sabung ayam di Way Kanan, Lampung, membuka babak baru dalam diskursus tentang moralitas, keadilan, dan integritas aparat penegak hukum di Indonesia. Dugaan bahwa pelaku penembakan berasal dari kalangan TNI yang dugaaanya membekingi perjudian tentu bukan hanya sekadar isu biasa. Meskipun kebenarannya masih dalam investigasi aparat berwenang, tetapi peristiwa ini menjadi alarm serius bagi sistem penegakan hukum kita.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik perjudian ilegal kerap melibatkan beking dari aparat, baik di level lokal maupun lebih tinggi. Keterangan saksi yang menyebut adanya setoran kepada Polsek Negara Batin mengindikasikan bahwa beberapa oknum kepolisian juga terlibat dalam lingkaran gelap perjudian ini. Namun, bahkan jika ada keterlibatan aparat dalam menerima setoran, apakah itu cukup untuk menjadi alasan bagi eksekusi brutal terhadap tiga polisi yang tengah bertugas?
Tindakan menembak hingga tiga polisi tewas bukan hanya tindakan melanggar hukum, tetapi juga melampaui batas kemanusiaan yang bisa diterima. Jika benar ada oknum yang terlibat dalam aksi ini, maka kita tidak lagi berbicara tentang sekadar penyimpangan, melainkan pengkhianatan terhadap amanah negara. Syahwat menembak hingga merenggut nyawa tiga anggota Polri ini sungguh di luar nalar manusia yang masih memiliki hati nurani. Terlebih ketiga korban mendapatkan bidikan mematikan,yakni di kepala dan di dada, tepatnya arah jantung. Jika penembak abal-abal, mungkin tidak fokus pada posisi vital tersebut.
Tegakkan Hukum
Ketika masyarakat sipil melakukan pelanggaran hukum, sudah menjadi kewajiban aparat untuk menegakkan aturan. Namun, bagaimana jika yang melanggar hukum justru adalah mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum? Kasus ini menambah daftar panjang insiden di mana aparat justru menjadi bagian dari masalah, bukan solusi.
Tidak jarang kita mendengar konflik antara Polri dan TNI di lapangan, terutama dalam urusan ekonomi gelap seperti perjudian, tambang ilegal, dan narkoba. Rivalitas antar-institusi yang seharusnya bekerja sama ini justru semakin memperkeruh citra aparat di mata publik. Masyarakat yang seharusnya merasa aman dengan keberadaan mereka justru menjadi takut dan bertanya-tanya: siapa sebenarnya yang mereka lindungi?
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah menyatakan bahwa investigasi terlaksana bersama dengan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto. Ini langkah baik, tetapi harus ada jaminan bahwa penyelidikan berlangsung secara transparan, tanpa ada kepentingan tertentu yang coba untuk terselamatkan.
Kepastian Hukum
Masyarakat butuh kepastian bahwa hukum akan tegaknya secara adil, bukan berdasarkan seragam yang melekat. Jika ada oknum TNI yang terbukti bersalah, maka mereka harus mendapatkan hukuman setimpal. Begitu pula jika ada keterlibatan oknum Polri dalam praktik setoran judi, mereka juga harus ikut proses hukum.
Kejadian di Way Kanan ini bukan hanya soal tewasnya tiga polisi, tetapi juga soal rusaknya kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Dalam situasi seperti ini, kebutuhannya bukan sekadar investigasi, tetapi reformasi mendalam agar kasus serupa tidak terulang di masa depan.
Judi sabung ayam, meski ilegal, hanyalah puncak gunung es dari masalah yang lebih besar: korupsi dan penyalahgunaan wewenang di dalam tubuh aparat keamanan. Jika akar masalah ini tidak terberantas, maka kasus-kasus serupa akan terus berulang, hanya dengan wajah pelaku yang berbeda.
Sudah saatnya kita sebagai bangsa menuntut lebih dari mereka yang seharusnya melindungi dan mengayomi. Karena jika aparat yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi ancaman, lalu kepada siapa lagi rakyat bisa berharap?*