Ia menjadi bagian dari sejarah pembuatan pesawat tanpa awak terbesar pertama di Jepang.
MEDIO 1996, Alhusniduki Hamim, rektor Universitas Lampung (Unila), kala itu melontarkan pertanyaan menyelidik kepada salah seorang calon dosen dalam sesi wawancara perekrutan. “Kamu serius mau menjadi dosen di sini?” ujar dia.
Pertanyaan tersebut bukan tanpa alasan. Ia terheran-heran menghadapi pegawai perusahaan minyak dari perusahaan asing bergaji 8.000 dolar Amerika/bulan ingin beralih profesi menjadi tenaga pendidik di almamaternya.
Ketika itu gaji seorang dosen di perguruan tinggi negeri tidak lebih dari 50 dolar Amerika. Pilihan itu bagi Rektor sepertinya tidak masuk akal. Namun, Muhammad Komarudin, si calon dosen, memang punya tolok ukur yang berbeda. Keberhasilan, menurut dia, tidak selalu diukur dengan besaran materi.
Ibunya kerap berwasiat akan tiga hal lebih penting dari sekadar materi, yaitu anak yang saleh, amal jariah, dan ilmu yang bermanfaat. Bekerja di perusahaan minyak menjauhkan dirinya dari keluarga, terutama anak-anaknya. Dia membutuhkan kebebasan intelektual. “Saya merasa ada yang hilang ketika tidak lagi mengajar sebagai asisten dosen,” ujar dia.
Kini, 16 tahun sudah Komarudin mengabdi pada almamaternya. Namun, hingga kini bapak empat anak ini tidak pernah menyesali keputusannya. Pilihan menjadi dosen tidak berujung sia-sia. Komarudin terhitung sebagai saintis terkemuka bidang mikroprosesor pesawat tanpa awak nasional.
Tepatnya pada 2008, Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kemeninfokom) menempatkan teknologi pesawat tanpa awak yang dibuat Komarudin sebagai juara III dalam ajang Indonesian ICT World 2008. Meskipun duduk di posisi tiga, pencapaian itu luar biasa mengingat kompetitornya merupakan perusahaan-perusahaan besar industri teknologi. Sejak saat itu kepakarannya mulai dikenal secara nasional.
Komarudin mengaku keterlibatannya dalam pembuatan pesawat terbang tanpa awak dengan teknologi mikroprosesor dan telemetri ciptaannya berlangsung secara kebetulan, karena dirinya adalah pakar mikroprosesor, bukan penerbangan.
Awal cerita bermula pada 2005. Pembantu Rektor IV Unila Anshori Djausal ketika itu memintanya memodifikasi layang-layang foto udara miliknya.
“Pak Anshori meminta saya untuk memodifikasi layang-layang foto udaranya agar bisa memotret lebih baik dengan pemotretan yang bisa dikendalikan dari bawah. Sederhananya, apa yang ditangkap kamera layang-layang di udara bisa dilihat dulu dari bawah sebelum dipotret,” ujar dia.
Kemudian dikembangkan layang-layang bermesin sederhana yang dapat dikendalikan dari darat. Layang-layang sudah dibekali kamera ini dikendalikan menggunakan remot yang dibuat dari stick permainan PlayStation. Gambar yang akan diambil bisa dilihat dari monitor di darat.
Pada 2006, dalam sebuah ekspedisi pemotretan hutan mangrove di Lampung Timur, pemotretan dengan pesawat layang-layang ini ternyata mengalami kendala lantaran tidak ada hembusan angin kencang. “Solusinya adalah membangun pesawat tanpa awak yang dikendalikan dengan remot yang juga memiliki kemampuan pengindraan,” ujarnya.
Akhirnya, pada tahun berikutnya pesawat berupa helikopter minipun dibuat. Pesawat ini memiliki kemampuan take over dan landing secara vertikal sehingga cocok untuk daerah sempit seperti halnya perkotaan. Pesawat ini juga tidak hanya memotret dengan kamera melainkan juga sudah menggunakan pengindraan radar atau synthetic aperture radar (SAR).
Pesawat pengintai ini menggunakan teknologi rekaan yang dinamakan Avionic and Telemetry System for Circularly Polarized Synthetic Aperture Radar Unmanned Aerial Vehicle (CP-SAR UAV). Pesawat tanpa awak ini diprogram untuk mengamati dan mengambil gambar daerah yang jauh dan kembali sesuai waktu yang diatur.
“Sistem ini membuat kami layaknya pilot dalam pesawat yang bisa melihat dan mengendalikan pesawat dari bawah,” kata dia. Karya inilah yang akhirnya meraih trofi pada Indonesian ICT World 2008 di Jakarta.
Belajar di Lembah Silikon
PADA 2010, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengirim Komarudin beserta sembilan pakar teknologi lainnya ke Amerika. Mereka mengunjungi 13 perguruan tinggi terkemuka, seperti Harvard, MIT, dan Stanford University, tempat lahirnya mesin pencari Google. Mereka belajar bagaimana teknologi bisa bernilai bisnis hingga level industri.
Perihal perjalanan ke luar negeri ini, Komarudin punya pengalaman menarik karena semestinya ia melakukan perjalanan itu dua tahun sebelumnya. Kesulitan masuk ke negeri Barack Obama itu bermula tatkala dirinya menempuh program doktor di Manchester, Inggris. Di sana Komarudin menjadi ketua organisasi mahasiswa muslim.
Menjelang akhir studi, Komarudin ketika itu diminta harus kembali ke Tanah Air lantaran keperluan keluarga yang mendesak. Ketika sampai di Tanah Air, peristiwa runtuhnya menara Wall Street Center (WTC) di New York terjadi. Peristiwa itu berimbas pada dirinya.
“Mungkin karena latar belakang saya yang menjadi ketua organisasi mahasiswa muslim di Manchester menyebabkan saya tak bisa kembali ke kota itu untuk menyelesaikan studi S-3 saya,” ujarnya.
Namun, akhirnya dengan kesabaran semuanya berbuah manis. Status sebagai juara ICT World 2008 akhirnya memudahkan dirinya memperoleh visa keluar negeri hingga dia memiliki kesempatan mengunjungi Lembah Silikon yang terkenal itu.
Di tahun yang sama pula Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi meminta Komarudin berpartisipasi bersama 40 peneliti dalam dan luar negeri untuk membangun mikroprosesor bidang teknologi komunikasi internet dengan nama W-MAX. Pengalaman ini akhirnya mendorong ia untuk membangun mikroprosesor pengendali pesawat tanpa awak dengan kemampuan telemetri, tonografi, W-MAX secara sekaligus.
“Proses ini seperti puzzle yang terpisah-pisah dan harus saya tuntaskan secara sendiri-sendiri untuk kemudian disatukan dalam satu keping prosesor. Produk ini tengah menempuh proses paten dan akan dibangun dalam bentuk prototipe fabrikasi. Kemungkinan akan dibangun kalau tidak di Eropa, ya Amerika, sebelum diproduksi secara massal,” ujarnya.
Teknologinya sampai Jepang
PADA 2011, Komarudin menjadi bagian dari sejarah pembuatan pesawat tanpa awak terbesar pertama di Jepang lewat kerja sama Chiba University-Unila. Pesawat dengan nama Avionic and Telemetry System for CP-SAR UAV ini diluncurkan di Jepang awal 2011 oleh Center of Environment and Remote Sensing (Ceres) Chiba University of Japan.
Bisa dikatakan pesawat dengan pecitraan radar ini lebih hebat dibandingkan dengan teknologi berbasis optik. Gambar yang dihasilkan optik akan terganggu bila kondisi cuaca berawan atau hujan.
Sementara teknologi radar tetap menghasilkan gambar beresolusi tinggi meskipun cuaca tidak mendukung. “Citra radar lebih unggul dibandingkan optik,” ujar lulusan Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Pesawat penjelajah ini pun makin hebat lantaran bisa beroperasi hingga 500 km. Komarudin memperkirakan jelajah terbangnya dari Lampung, Jakarta, hingga ke Bandung. Lulusan master Institut Teknologi Bandung (ITB) ini menjelaskan avionic and telemetry system dapat dipakai untuk mengamati daerah rawan bencana yang tidak bisa dilalui pesawat biasa, misalnya gunung berapi dan daerah potensi longsor.
Pesawat ini juga mampu mengamati daerah hutan dan perkebunan yang luas untuk menghitung jumlah batang pohon dan tingkat kesuburan tanaman. Bisa juga dipakai untuk melihat perubahan ketinggian permukaan tanah.
Bahkan, mampu mengamati kedalaman tanah sampai beberapa meter untuk melihat kandungan mineral di dalamnya. Pencitraan yang diambil pesawat bisa menjadi dasar dalam melakukan penelitian lebih jauh mengenai nilai ekonomis kandungan mineral dalam tanah.
Tahun 2012, Komarudin mewakili Unila beserta pakar dari Institut Teknologi Sebelas Nopember (ITS), Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) untuk terlibat dalam pembangunan pesawat tanpa awak untuk kepentingan pertahanan dan keamanan nasional.
“Pesawat tanpa awak ini akan dikirim untuk melakukan pengindraan jarak jauh, mengetahui secara pasti kondisi dan posisi musuh,” kata dia.
Selain itu, tugasnya memantau pergerakan mereka untuk kemudian dikonfirmasikan pada peralatan tempur darat, dalam hal ini tank, untuk kemudian ditindaklanjuti dalam operasi penyerbuan dan penyergapan.
Kepala Laboratorium Elektronika ini menjelaskan pesawat menembakkan berbagai frekunesi seperti x-band, c-band, dan l-band untuk menghasilkan peta tiga dimensi, yang meliputi permukaan tanah dan udara. Avionic and telemetry system sedang dalam proses paten ke Kementerian Hukum dan HAM.
BIODATA
Nama : Muhammad Komarudin
Kelahiran : Indramayu, Jawa Barat, 7 Desember 1968
Istri : Farida Yuniarti
Anak : 1) Fauziyyah Fadiyah
2) M. Fika Fakhrudi
3) Abdullah Hasan Adil
4) M. Jakfar Ramadhan
Pendidikan : – SDN 2 Rawalaut, Bandar Lampung
– SMPN 1 Tanjungkarang, Bandar Lampung
– SMAN 2 Bandar Lampung
– S-1 Teknik Elektro UGM
– S-2 Teknik Elektro ITB