Supono
Ketua Prodi Magister Manajemen Wilayah Pesisir dan Laut Unila;
Ketua Masyarakat Akuakultur Lampung
INDONESIA sebagai negara maritim dengan dua per tiga wilayahnya lautan dan memiliki sumber daya perikanan tangkap yang luar biasa, baik keanekaragaman maupun kuantitasnya. Salah satu komoditas laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi adalah lobster (Panulirus sp), baik lobster pasir (P homarus), lobster mutiara (P ornatus), maupun jenis yang lainnya.
Lobster mutiara ukuran 300 gr bernilai 30—40 dolar AS/kg, sedangkan untuk jenis mutiara lebih besar lagi bisa mencapai 45—60 dolar AS/kg. Di samping ukuran konsumsi, benih lobster Panulirus sp yang sering disebut baby lobster (BL) memiliki nilai ekonomis cukup tinggi juga.
Berdasarkan data di lapangan, harga puerulus (benih lobster yang masih bening, belum berpigmen) dihargai Rp5.000—Rp10 ribu per ekor, bahkan harga ini terlalu murah jika dibandingkan di Vietnam yang mencapai 5—10 dolar AS.
Berdasarkan data KKP, potensi benih bening lobster perairan Indonesia miliaran per tahun. Namun, berdasarkan hasil penelitian para ahli, tingkat kelulushidupannya sangat kecil, kurang dari 0,05%. Artinya, dari 1 juta ekor puerulus, hanya akan menjadi kurang dari 500 ekor lobster dewasa.
Lampung sendiri memiliki potensi benih lobster yang cukup besar. Potensi lobster tersebut berada di perairan Lampung Selatan, Pesawaran, Tanggamus, dan Pesisir Barat yang termasuk Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 572.
Wilayah ini meliputi perairan barat Sumatera dari Pesisir Barat Lampung sampai Aceh dengan kuota penangkapan benih bening lobster 18.537.500 ekor, sementara kuota nasional sebanyak 139.475.000 ekor (Keputusan Dirjen Perikanan Tangkap No. 51/KEP-DJPT/2020). Potensi ini akan menjadi berkah bagi masyarakat. Namun, bisa jadi malapetaka jika tidak dikelola dengan baik.
Melimpahnya benih lobster di laut harus kita kelola sebaik-baiknya agar bermanfaat secara ekonomi. Sebagai salah sumber daya laut, lobster merupakan sumber daya milik bersama dan bersifat terbuka bagi siapa saja, sehingga sering timbul konflik dalam pemanfaatannya. Maka itu, perlu regulasi dalam mengelolanya.
Pengelolaan sumber daya laut seharusnya menganut keberlanjutan, baik secara ekologi maupun secara ekonomi. Pengelolaan sumber daya yang hanya mengacu pada kelestarian ekologi tidak akan memperoleh manfaat ekonomi bagi masyarakat dan negara. Sebaliknya, pengelolaan yang berbasis ekonomi tanpa memperhatikan ekologi yang terjadi hanya over-eksploitasi dan kerusakan sumber daya.
Pengelolaan berbasis masyarakat dengan melibatkan pemerintah sebagai regulator bisa dijadikan salah satu model pengelolaan lobster di Lampung dengan melibatkan tokoh masyarakat dan memperhatikan kearifan lokal. Kultur masyarakat Lampung yang memegang teguh adat-istiadat serta kepatuhan terhadap tokoh masyarakat akan membantu menciptakan pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan.
Sementara pemerintah sendiri bertindak sebagai regulator untuk menghindari tumpang tindih kepentingan pemanfaatan sumber daya. Masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan. Dampak pengelolaan akan dirasakan sendiri oleh masyarakat, baik secara ekonomi berupa peningkatan pendapatan maupun dampak ekologi yang muncul.
Masyarakat, baik nelayan penangkap benih lobster maupun pembudidaya lobster, akan bertanggung jawab penuh dalam pengelolaannya. Pelarangan penangkapan benih lobster secara mutlak akan merugikan nelayan karena mengurangi pendapatannya dan tentu saja menghilangkan kesempatan negara dalam memperoleh devisa dari komoditas ini.
Pembudidaya juga dirugikan, tidak bisa melakukan budi daya karena terkendala pasokan benih, sementara puerulus yang ada tingkat kelulushidupan di alam sangat rendah. Penangkapan benih lobster secara terbatas perlu dilakukan sebagai upaya memanfaatkan melimpahnya benih lobster, meningkatnya pendapatan nelayan, menghidupkan aktivitas budi daya, serta meningkatkan nilai ekspor. Penangkapan terbatas dapat diatur dengan penentuan fishing ground puerulus, jumlah nelayan, ukuran yang boleh ditangkap, jenis alat, dan kuota yang boleh ditangkap.
Dari sisi budi daya, melimpahnya benih lobster ini belum sepenuhnya dimanfaatkan pembudidaya lobster di Indonesia karena keterbatasan fasilitas karamba jaring apung yang ada dan fasilitas penunjangnya. Dari fasilitas pembesaran yang dimiliki, diperkirakan benih lobster yang bisa dimanfaatkan baru sekitar 10 juta—20 juta per tahun.
Dari sisi ekonomi, tingginya biaya produksi menjadi salah satu kendala pengembangan budi daya lobster. Untuk menghasilkan 1 kg lobster pasir ukuran konsumsi dibutuhkan pakan 20 kg, sehingga untuk biaya pakan sendiri sudah Rp200 ribu (jika harga pakan Rp10 ribu/kg), belum dari biaya benih lobster sendiri yang tentu saja akan naik drastis jika ekspor sudah mulai jalan.
Keluarnya Kepmen-KP No. 12 tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus Sp), Kepiting (Scylla Sp), dan Rajungan (Portunus Sp) di Wilayah Negara Republik Indonesia tentunya mengundang pro-kontra dari beberapa pihak. Dalam kepmen tersebut, setidaknya ada beberapa upaya dari pemerintah untuk menampung aspirasi dari stakeholders. Pengelolaan sumber daya lobster ini di samping memperhatikan kelestarian secara ekologi, juga dapat berdampak ekonomi bagi masyarakat, terutama nelayan dan pembudidaya, serta dapat meningkatkan nilai ekspor.
Ada beberapa poin dalam Kepmen-KP No 12 Tahun 2020 yang mendukung kelestarian lobster antara lain nelayan yang boleh menangkap benih lobster adalah nelayan kecil dengan menggunakan alat tangkap pasif, kuota dan lokasi penangkapan sesuai dengan kajian, dan kewajiban bagi pembudidaya untuk melepasliarkan 2% dari hasil panen di tempat pengambilan benih.
Sumber daya benih lobster yang besar ini patut kita syukuri dengan memanfaatkan sebaik-baiknya. Kalau lobster sudah menjadi salah satu andalan sektor perikanan, sudah seharusnya dari sekarang kita curahkan energi ekstra untuk mengembangkan lobster tidak hanya dari penangkapan, tetapi juga dari budi daya.
Riset-riset lobster dengan melibatkan perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan pembenihan lobster perlu menjadi prioritas karena ke depannya kita tidak bisa mengandalkan alam selamanya. Budi daya akan memegang peranan penting sebagai penyuplai bahan pangan.
Allah telah menciptakan semua yang ada di bumi untuk manusia sebagaimana firman-Nya, “Dialah Allah yang telah menjadikan apa saja yang di bumi bagi kamu sekalian (QS 2:29).” Selain itu, Dia juga memerintahkan kita untuk mengelolanya dengan baik untuk kemaslahatan umat.
Namun, jika kita salah mengelolanya, melakukan eksploitasi yang berlebihan, yang timbul adalah kerusakan sumber daya alam. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Ruum: 41).[]