Rudy
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung
PENYEBARAN virus korona (Covid-19) di Indonesia terus meningkat. Sebanyak 1.868 orang terkonfirmasi positif terpapar virus korona. Dari data terakhir, Sabtu (25/7/2020), saat kolom ini ditulis, Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 mencatat kasus konfirmasi positif secara keseluruhan mencapai 97.286 orang. Bandingkan dengan jumlah positif di bulan Mei yang hanya 12 ribu.
Sementara itu, di Lampung penyebaran korona tidak menunjukkan kabar yang lebih menggembirakan. Data ini tiap bulannya meningkat tajam. Lihat trennya, pada tanggal 30 April masih 46 orang, kemudian tanggal 31 Mei menjadi 131 orang, di tanggal 30 Juni naik kembali menjadi 190 orang. Data terakhir hari Sabtu, tanggal (25/7/2020), tercatat bertambah menjadi 247 orang.
Secara keseluruhan, dengan jumlah 97 ribu kasus lebih, Indonesia telah melampaui Tiongkok. Sebagai perbandingan, dari seluruh kasus positif ini, Indonesia baru melakukan 1,2 juta tes spesimen, sedangkan tiongkok sudah melakukan 90 juta tes spesimen. Bayangkan jika Indonesia melakukan tes yang lebih masif. Mungkin kita akan lebih terkejut dengan kotak pandora penularan pandemi korona di Indonesia.
Bahkan, di Lampung, pemerintah daerah belum melakukan tes rapid atau swab secara khusus untuk mengetahui jumlah sesungguhnya dari penularan virus korona. Keadaan ini dengan catatan bahwa mungkin saja angka ini adalah fenomena gunung es. Mungkin sebenarnya banyak yang sudah terjangkit dan menjadi pembawa virus tanpa kita sadari. Sementara itu, kerumuman masih terjadi, jalanan masih ramai, pasar masih berdesakan. Indonesia kemudian menjalankan protokol baru bernama adaptasi baru atau new normal. Di Lampung sendiri, kehidupan normal sudah berjalan atas nama new normal.
New normal atau adaptasi baru adalah kehidupan dalam masa pandemi yang dibatasi oleh protokol kesehatan tertentu. Protokol kesehatan yang tertuang dalam keputusan Menteri Kesehatan tersebut antara lain menyarankan untuk memakai masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan.
Permasalahannya adalah adaptasi baru diartikan berkegiatan normal bagi sebagian masyarakat seakan akan tidak ada virus korona. Padahal, virus korona masih ada dan penyebarannya, terutama ditransmisikan melalui droplet (tetesan kecil), yang dihasilkan saat orang yang terinfeksi batuk, bersin, atau mengembuskan napas.
Penularan dapat terjadi saat menghirup udara yang mengandung virus ketika berada terlalu dekat dengan orang yang sudah terinfeksi korona. Kita juga dapat tertular saat menyentuh permukaan benda yang terkontaminasi lalu menyentuh mata, hidung, atau mulut. Oleh karena itu, pengabaian terhadap protokol kesehatan dapat menyebabkan penularan virus korona di masyarakat.
Terlebih, dalam kondisi adaptasi baru yang mewajibkan para pekerja untuk mau tidak mau bekerja dan beraktivitas di tengah masyarakat. ASN, dunia usaha, dan masyakat pekerja dalam hal ini memiliki kontribusi besar dalam memutus mata rantai penularan karena besarnya jumlah populasi pekerja dan besarnya mobilitas, serta interaksi penduduk umumnya disebabkan aktivitas bekerja.
Kasus terjadi misalnya dalam lingkup Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah penularan korona pada Dirjen Dikti, Unhas, USU, dan UNS. Hal ini disebabkan oleh salah satunya pengabaian terhadap protokol kesehatan yang telah ditetapkan.
Protokol kesehatan yang sekarang banyak disuarakan dan dipromosikan ternyata dalam kenyataannya tidak menjadi suatu kesadaran hukum. Kenyataannya, di dekat spanduk memakai masker, masker itu hanya tergantung dengan sangat elegan sedikit di bawah mulut.
Para pejabat pemerintahan pun tidak memberikan teladan yang baik dengan membuka masker ketika berbicara dan mengadakan rapat-rapat di ruang kecil yang menyebabkan tidak tercapainya kondisi jarak aman bagi penularan virus. Hal ini diperparah dengan masyarakat dan pekerja dunia usaha yang hanya menggantungkan masker di leher, bahkan tidak memakai sama sekali.
Dalam konteks ini, kesadaran hukum untuk menerapkan protokol kesehatan jauh panggang dari api. Pelaksanaan protokol ini hanyalah jargon-jargon tanpa adanya kesadaran untuk mematuhinya. Jika bisa disimpulkan tiadanya kesadaran hukum untuk mematuhi protokol inilah sebenarnya biang dari penularan yang masif di Indonesia.
Kesadaran Vs Kepatuhan Hukum
Hukum dalam arti luas sebagai sesuatu yang seharusnya atau seyogianya tidak memiliki sifat memaksa. Tidak jarang hukum itu dicederai, dilanggar, atau diabaikan oleh orang yang masih menganggap tidak pentingnya sebuah hukum yang ada di masyarakat. Orang-orang tersebut merupakan orang-orang yang tidak sadar dan tidak patuh terhadap hukum.
Dalam konteks ketiadaan kesadaran hukum ini, kemudian muncul positivisme hukum yang salah satu unsurnya adalah sanksi untuk membentuk kepatuhan hukum. Kepatuhan hukum ini berbeda dengan kesadaran hukum karena ada faktor eksternal yang memaksa orang untuk mematuhi hukum. Oleh karena itu, dalam hukum diperlukan sanksi untuk memaksa adanya kepatuhan hukum.
Dalam konteks penularan korona yang masif ini kemudian diperlukannya sanksi pidana bagi orang yang tidak mematuhi protokol kesehatan. Sanksi sosial tidak cukup karena sanksi sosial efektif jika terdapat kesadaran hukum di masyarakat. Saat ini kesadaran hukum masyarakat yang sangat rendah tidak memungkinkan untuk itu.
Sebagai daerah yang tidak melaksanakan PSBB, Lampung mau tidak mau harus membentuk peraturan daerah untuk memberikan sanksi. Hal ini disebabkan oleh amanat Pasal 15 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (P3) yang dengan jelas menyebut bahwa ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam undang-undang (UU) dan peraturan daerah (perda).
Ketentuan pidana tersebut dalam peraturan daerah dapat berupa ancaman pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak Rp50 juta. Oleh karena itu, penerapan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan dapat diatur dalam perda, baik perda provinsi maupun perda kabupaten/kota. Hal ini didasarkan pada kewenangan daerah dalam UU Kesehatan dan UU 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pemikiran sanksi denda pun sebenarnya sudah mulai menguat baik di lingkup pemerintah pusat ataupun sebagian pemerintah daerah di Indonesia. Tinggal apakah pemerintahan daerah di Lampung mau atau tidak menerapkannya.