Syarief Makhya
Akademisi FISIP Unila
PILKADA tahun ini merupakan pemilihan umum yang tidak biasa seperti pilkada yang sudah dilaksanakan tahun-tahun sebelumnya, karena dihadapkan pada Covid-19 yang masih berpotensi berisiko menimbulkan penyebaran virus korona kalau tidak dilakukan protokol kesehatan secara ketat.
Sementara pilkada dalam proses persaingan politik sarat dengan kepentingan untuk melakukan interaksi politik antara calon dengan pemilih (rakyat). Kepentingan untuk memengaruhi masa atau pemilih sejauh ini, khususnya pada masyarakat kelas menengah ke bawah, cenderung masih dilakukan secara konvensional, seperti bertatap muka langsung, hiburan dengan mengumpulkan masa secara terbuka, pengajian-pengajian, kunjungan politik, atau jalan sehat berhadiah yang masif.
Penggunaan kampanye melalui media sosial, radio, atau kampanye lewat televisi masih relatif tidak efektif, khususnya di kalangan masyarakat bawah. Jika dikategorisasi, jumlah pemilih masyarakat bawah masih jauh lebih besar dibandingan kelas menengah ke atas. Dengan demikian, bagi kontestan pilkada, memengaruhi kelas masyarakat bawah tetap menjadi target atau sasaran utama menggaet pemilih.
Dalam situasi Covid-19, lalu bagaimana efektivitas memengaruhi masa yang tidak melanggar protokol kesehatan dan mengefektifkan media untuk memengaruhi masa? Isu pilkada dan Covid-19 seharusnya tidak terjebak pada persoalan-persoalan teknis bagaimana semisal memperbesar dosis isu protokol kesehatan. Dengan alasan Covid-19, kemudian membuat ruang gerak kemampuan memengaruhi masa menjadi terbatas dan menjadi kontra-produktif.
Baru-baru ini, misalnya, ada bakal calon kepala daerah mau melakukan sosialisasi di salah satu kelurahan di Bandar Lampung, tetapi dihadang oleh kepala lurah dengan alasan Covid-19. Kasus ini menjadi viral di masyarakat luas, yang mempertontonkan belum adanya persepsi yang sama tentang kondisi Covid-19 dan batas-batas interaksi politik antara bakal calon kepala daerah dengan masyarakat dan absennya penyelenggara pemilu dalam mengantisipasi timbulnya kejadian konflik antara aparat kelurahan dengan bakal calon kepala daerah.
Momentum Tradisi Baru
Covid-19 seharusnya dijadikan momentum untuk memanfaatkan teknologi informasi dan penggunaan media sosial oleh para kontestan dalam berinteraksi politik dengan masyarakat. Bagaimana merancang desain kampanye yang interaktif dengan menggunakan teknologi informasi yang menarik, tidak memuat kampanye hoaks, dan edukatif, sehingga ada unsur proses pendidikan politik pada masyarakat.
Dengan model baru kampanye pilkada yang menjaga jarak interaksi politik dengan masyarakat, ada tradisi baru untuk membangun komunikasi politik yang lebih mengedepankan politik akal sehat, rakyat dibangun dengan kekuatan pikirannya untuk memilih bakal calon kepala daerah yang sesuai dengan informasi yang ditangkap, baik itu menyangkut visi maupun program-program yang ditawarkannya.
Melalui model kampanye dalam tradisi baru ini, pilkada akan terhindar tradisi memengaruhi pemilih dengan menggunakan politik uang, bagi-bagi sembako, penyebaran berita hoaks, aksi serangan fajar, atau pemberian bantuan-bantuan sosial dan keagamaan.
KPU dan Baswalu seharusnya memiliki konsep dan rancangan untuk membangun tradisi baru dalam mengarahkan para kontestan pilkada dalam melakukan interaksi politik. Akan tetapi, kalau KPU atau Bawaslu tidak punya konsep dan model kampanye berbasis teknologi informasi, ada celah pada kontestan, tim sukses, dan partai politik untuk melakukan kampanye dalam situasi normal.
Kalau ini terjadi, akan berakibat risiko terjadinya pelanggaran protokol kesehatan dan momentum terjadinya tradisi baru kampanye berbasis teknologi informasi tidak akan terjadi.
Realitas yang akan Terjadi
Sampai sekarang, masyarakat belum memperoleh informasi yang cukup terkait dengan pilkada di era Covid-19. Setidak-tidaknya, KPU dan Bawaslu dari awal sudah menyosialisasikan gambaran model interaksi politik antara kontestan dan pemilih. Jangan diterjemahkan isu pilkada dan Covid-19 sebatas pemahaman jaga jarak (physical distancing), pakai masker, dan cuci tangan, tetapi harus dikaitkan dengan mengembangkan model interaksi politik baru yang berbasis penggunaan teknologi informasi dan proses pendidikan politik di masyarakat.
Seraya berharap demikian, muncul pikiran-pikiran yang mengabaikan situasi Covid-19 karena model-model interaksi politik lama, seperti tatap muka, kampanye terbuka, dan pembagian sembako dianggap masih efektif dan dikemas oleh protokol kesehatan yang tidak begitu ketat.
Alasan, seperti rakyat lebih pragmatis, dijadikan argumen untuk meyakinkan pemilih sehingga interaksi dan komunikasi politik dengan rakyat lebih efektif kalau cara-cara yang dilakukan secara simbolik atau melalui pembagian sembako, buku yasinan, atau pemberian sarung untuk salat jauh lebih ampuh dibandingkan dengan interaksi politik melalui media.
Jika hal tersebut terjadi, ada potensi akan terjadi pelanggaran protokol kesehatan dan KPU/Bawaslu gagal membangun dan memanfaatkan situasi Covid-19 untuk mengembangkan tradisi baru dalam membangun interaksi politik di pilkada 2020. Situasi Covid hanya dijadikan alasan sebatas membatas menjaga jarak dan penggunaan masker, sementara inovasi untuk membangun suasana baru pilkada seperti mengubah interaksi politik dari cara konvensional ke penggunaan teknologi informasi menjadi terabaikan.
Harapannya, KPU dan Bawaslu harus memunculkan inovasi baru untuk membangun interaksi politik yang bebas dan terhindar dari model kampanye yang bermodalkan politik uang. KPU dan Bawaslu harus berubah model bekerjanya dari cara kerja juklak-juknis yang hanya memosisikan sebagai pelaksana ke cara kerja yang lebih memungkinkan memunculkan kreativitas politik dalam memanfaatkan pilkada sebagai ajang persaingan politik berbasis teknologi informasi.*