Unila (Lampost.co)–Kota Bandar Lampung yang merupakan ibu kota Provinsi Lampung, terdiri dari 20 Kecamatan dengan luas 197,22 km² dan populasi 879.651 jiwa dengan kepadatan 4.460 jiwa/ km². Kondisi ini memicu permasalahan terhadap sampah akibat pola hidup konsumtif sebagian besar penduduk Bandar Lampung. Selain itu juga akibatadanya mobilitas penduduk yang tinggi sehingga tumpukan sampah terutama sampah makanan ditemui disegenap penjuru kota Bandar Lampung dan akibatnya memiliki permasalahan sampah.
Sampah adalah masalah yang harus dihadapi oleh masyarakat karena sampah merupakan buangan yang dihasilkan dari aktivitas manusia yang tidak terpakai oleh karena itu pengelolaan sampah sangat diperlukan agar nantinya tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan (Naskah Akademik, 2020).
Saat ini Kota Bandar Lampung sedang mengalami masa krisis yaitu karena terjadinya overload di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Bakung. Banyaknya penumpukan sampah di TPA ini yang tidak dapat lagi dilakukan pengelolaan sampah sebagaimana mestinya yang dapat kita lihat pada gambar. Diketahui bahwa TPA Bakung adalah salah satu alternatif penyelesaian permasalahan sampah. Hal inilah yang menjadi urgensi adanya pembangunan TPA Baru di Kota bandar Lampung karena apabila tetap diteruskan, maka lingkungan sekitar TPA Bakung akan mengalami pencemaran lindi, kebauan, penyebaran vektor penyakit dan aspek sosial lainnya.
Berdasarkan SNI 19-2454-2002 tentang Pengelolaan Sampah di Perkotaan, jumlah produksi sampah yang bisa dihasilkan oleh kota Bandar Lampung yakni sebesar 2,5 L/jiwa/hari dengan berat setiap liternya mencapai 2.4 kg. Maka bila diasumsikan satu keluarga di Kota Bandar Lampung memiliki anggota 5 orang dapat diprediksi jumlah sampahnya ialah 12 kg /hari karena penduduk Kota Bandar Lampung tahun 2022 adalah 1.184. 949. Dengan laju pertumbuhan penduduk kota ini sebesar 1,65 persen per tahun.
Maka dari tahun ke tahun tentu tumpukan sampah akan meningkat pesat. Berdasarkan kondisi seperti ini sebaiknya pemerintah Kota Bandar Lampung khususnya Dinas Lingkungan Hidup dapat mampu untuk menumbuh kembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah sebagai bentuk upaya dalam meminimalisir sampah yang ada di Kota Bandar Lampung.
Pemerintah Daerah juga dapat memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang berkembang pada masyarakat setempat untuk mengurangi dan menangani sampah yaitu dengan memfasilitasi kepada masyarakat dan dunia usaha dalam pengembangan dan memanfaatkan hasil daur ulang, pemasaran hasil produk daur ulang, dan guna ulang sampah. Hal ini telah dilakukan di negara Jerman yang berhasil mendaur ulang 56,1% sampahnya, duduk di peringkat ke-2, pengelolaan dan daur ulang sampah di Korea Selatan berhasil menyentuh angka 53,7%, selanjutnya ialah negara Swedia negara terluas ke-3 di Benua Eropa ini telah berhasil melakukan pengelolaan sampah dan air limbah untuk dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari (Kinetika,2020).
Kota Bandar Lampung dapat mengikuti jejak pengurus Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Mutiara Bogor Raya untuk TPST yang ada di Kota Bandar Lampung dalam mengakali penumpukan sampah yang ada di TPST dengan cara mengembangbiakan larva Black Soldier Fly (BSF) atau lalat tentara hitam untuk mengurai sampah organik dengan metode biokonversi. Targetnya adalah sampah seperti sisa-sisa makanan rumah tangga. Hasilnya bisa dijadikan pupuk organik untuk kemudian dijual lagi. Sedangkan larva yang semakin berkembang biak bisa digunakan untuk pakan lele, burung puyuh, dan semacamnya.
Contoh di atas dapat diterapkan oleh Pemeritah Kota Bandar Lampung dengan adanya sosialisasi dan penyuluhan di berbagai TPST maka dapat mengurangi jumlah volume sampah yang ada di Kota Bandar Lampung. Volume sampah yang ada di Kota Bandar Lampung semakin meningkat sehingga salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah misal Pemerintah Kota (Pemkot) Kota Bandar Lampung juga dapat mengadakan Program
Pasar Bebas Plastik. Program tersebut dilakukan di satu atau dua pasar tradisional yang ada di Kota Bandar Lampung hal ini dibutuhkan kerja sama untuk menggerakkan minat, inisiatif dan kepedulian masyarakat terhadap potensi bahaya dari penggunaan plastik secara berlebihan. Jika hal tersebut sudah terbentuk dan dilakukan secara konsisten, program Pasar Bebas Plastik tersebut akan tumbuh menjadi budaya yang tak akan hilang bagi masyarakat.
Menurut Greeners, Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) mewujudkan pasar bebas plastik di seluruh pasar tradisional yang ada di Indonesia. Salah satu kota yang sudah menerapkan pasar bebas plastik ialah Kota Bandung. Harapannya ada rencana program bebas plastik di Kota Bandar Lampung. Hal ini mampu mendorong seluruh pedagang dan konsumen mulai membiasakan diri untuk tidak lagi menggunakan plastik sekali pakai saat berbelanja. Apalagi Pemerintah Indonesia telah menetapkan target nasional pengurangan sampah sebanyak 30% dan penanganan sampah sebanyak 70% pada tahun 2025.
Sementara data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Lampung, volume sampah yang dihasilkan warga Kota Bandar Lampung per hari kini mencapai 850 ton. Belum lagi sampah yang tercecer di permukiman bisa 1.000 ton per hari. Sehingga volume sebanyak itu memerlukan lokasi TPA seluas 40 hektare. Volume sampah setiap harinya meningkat sehingga pentingnya pembangungan TPA yang baru.
Selain itu juga berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 05 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Sampah pemerintah daerah Kota Bandar Lampung dapat mencanangkan aksi dengan memberian insentif kepada perseorangan, lembaga dan badan usaha yang melakukan inovasi terbaik dalam pengelolaan sampah pemberian penghargaan dan pemberian subsidi. Diharapkan dari solusi-solusi diatas menjadi solusi
upaya bagi Pemerintah Kota Bandar Lampung serta masyarakat dalam mengurangi beban TPA Bakung Kota Bandar Lampung yang sedang mengalami krisis overload pada saat ini sebelum adanya TPA baru maupun setelah adanya TPA baru yang terbangun. ***
Oleh: Hayati Firdaus, Siti Herawati Sitorus, Fitra Hasrina Putri, Larasati Khadijah (Mahasiswa Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Lampung) dan Christine Wulandari, Guru Besar dan Dosen Jurusan Kehutanan, Prodi Magister Ilmu Lingkungan dan Magister Kehutanan, Prodi Doktoral Pertanian dan Ilmu Lingkungan Unila