Bandar Lampung (Lampost.co)–Upaya pencegahan kekerasan seksual dan perundungan menjadi salah satu fokus utama dalam rangkaian Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) STIAB Jinarakkhita Lampung tahun ini. Bertempat di aula kampus, Dwi Hafsah Handayani, S.Psi., dari UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi Lampung, hadir memberi materi tentang bahaya, dampak, serta langkah pencegahan kekerasan seksual dan perundungan di lingkungan pendidikan tinggi.
Dalam pemaparannya yang lugas dan menyentuh, Dwi Hafsah menekankan bahwa kekerasan seksual dan perundungan bukanlah masalah sepele, melainkan tindakan agresif yang dapat menimbulkan trauma fisik, mental, sosial, bahkan dampak hukum. “Mahasiswa harus mengenali bentuk-bentuk kekerasan, berani bersuara, dan melapor jika menjadi korban,” tegasnya.
Ia juga menjabarkan sejumlah payung hukum yang menguatkan upaya pencegahan kekerasan seksual di kampus, antara lain Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024, Perpres No. 55 Tahun 2024 tentang UPTD PPA, serta Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Semua regulasi ini hadir dengan satu tujuan besar: menciptakan lingkungan belajar yang aman, adil, dan bebas dari kekerasan.

“Kekerasan seksual bisa berupa pelecehan non-fisik, pemaksaan kontrasepsi, eksploitasi, hingga pemerkosaan. Sementara perundungan, sekecil apa pun, bisa meninggalkan luka batin yang dalam—termasuk keinginan bunuh diri dan turunnya semangat belajar,” jelasnya dengan serius.
Dwi Hafsah juga mengajak seluruh mahasiswa untuk aktif menjaga diri dan lingkungan sekitar. Menurutnya, pencegahan bisa dimulai dari kesadaran pribadi untuk menjauhi situasi rawan, bijak menggunakan media sosial, serta memahami cara melapor jika terjadi pelanggaran.
UPTD PPA sendiri menyediakan layanan lengkap bagi korban kekerasan, mulai dari pendampingan psikologis, bantuan hukum, akses kesehatan, hingga penampungan sementara. Laporan dapat disampaikan melalui Call Centre 08117911120 atau SAPA 129, dan akan ditangani oleh tenaga profesional dengan mengedepankan prinsip human rights dan keadilan gender.
“Kami ingin mahasiswa tahu bahwa mereka tidak sendirian. Pendampingan akan terus diberikan sampai korban benar-benar pulih,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya kerja sama lintas lembaga agar penanganan korban lebih menyeluruh dan berkesinambungan.
Menutup sesi, Dwi Hafsah menyampaikan pesan kuat: “Kampus harus menjadi tempat aman dan inklusif untuk semua. Jangan ragu melapor. Saling peduli dan saling menjaga adalah langkah pertama dalam menciptakan budaya bebas kekerasan.”
Materi ini menjadi pengingat penting bagi seluruh civitas akademika STIAB Jinarakkhita bahwa kenyamanan, keamanan, dan keadilan bukan hanya harapan—tetapi hak yang harus dijaga bersama.