Syarief Makhya, Akademisi FISIP Unila
PADA tahun 2020 akan digelar pilkada serentak di seluruh Indonesia. Di Lampung, ada delapan kabupaten/kota yang menggelar pilkada serentak pada bulan September mendatang. Dalam tradisi berdemokrasi di Indonesia, salah satu ukuran keberhasilan penyelenggaraan demokrasi yaitu tingginya tingkat partisipasi pemilih.
Sebaliknya, kalau tingkat partisipasi pemilih rendah, akan dikaitkan ada sejumlah persoalan di dalamnya. Biasanya dihubungkan dengan angka golput yang tinggi akibat kekecewaan terhadap kondisi politik masa lalu atau ada problem teknis penyelenggaraan pemilu.
Ukuran pemilu di Amerika yang rata-rata hanya mencapai di angka di bawah 55% dan pemilu di Australia yang tingkat partisipasi politiknya mencapai 90% tidak bisa dibandingkan dengan Indonesia. Sebab, di Australia pemilu diwajibkan bagi warga negara. Dengan demikian, kalau pemilu serentak tahun lalu di Indonesia tingkat partisipasi pemilihnya mencapai angka lebih dari 70%, maka dikategorikan sukses.
Kesimpulan tingginya angka partisipasi pemilih selalu jadikan indikator untuk menunjukkan tingkat keberhasilan penyelenggaraan pemilu atau proses demokrasi. Cara pandang ini tentu saja menyesatkan karena hanya melihat hasil dan tidak melihat proses terjadinya partisipasi pemilih berlangsung.
Oleh karena itu, perlu ada ukuran lain untuk menjelaskan partisipasi politik masyarakat dalam pilkada, sehingga dalam melihat fenomena partisipasi pemilih ukurannya lebih bermakna. Dalam perspektif ini, hakikat hak politik adalah pada kualitas hidup dan kebahagiaan dalam mengekspresikan pilihan politiknya secara otonom.
Hasil riset yang dilakukan Rebecca Weitz Shapio dan Mathew S Winter (2008) tentang political participation and quality of life dengan pendekatan procedural utility menyatakan sebuah pendekatan yang menekankan bahwa orang memiliki preferensi tidak hanya atas hasil akhir keputusan, tetapi juga atas cara pengambilan keputusan tersebut (Frey, Benz, dan Stutzer 2004: 382). Komponen utama dari pendekatan ini yaitu autonomy, relatedness, dan competence.
Aoutonomy
Prinsip dasar dalam partisipasi politik yaitu ketika seseorang akan menggunakan pilihan politiknya untuk mengambil keputusan harus memiliki kebebasan atau kemandirian dalam menentukan hak pilihnya. Tidak boleh hak politik itu di intervensi secara paksa, dimobilisasi dengan kekuatan uang atau diancam hak politiknya.
Pada kasus pemilu, pilkada, atau pilpres di Indonesia sudah bukan rahasia umum kalau untuk memenangkan persaingan politik dilakukan dengan segala cara antara lain yang paling dahsyat adalah dengan politik uang. Dalam ukuran otonomi kebebasaan seseorang dalam menentukan hak politik, mereka yang dimobilisasi dengan kekuatan politik uang tidak termasuk pada pemahaman partisipasi politik.
Relatedness
Pada konsep keterkaitan ini, partisipasi politik harus memunculkan rasa memiliki dan kesetiaan terhadap konsensus psikologis bahwa ia hidup di bawah sistem yang benar atau di negara yang baik, yang pada gilirannya mengarah pada tingkat kepuasan dan merasa terikat terhadap sistem pemerintahan di mana seseorang berada.
Pada kasus partisipasi politik di Indonesia tidak muncul rasa memiliki atau keterikatan terhadap sistem politik yang dianut. Bahkan, muncul logika yang terbalik, ketika produk pilkada menghasilkan pemimpin yang korup, rakyat pun larut dan loyal terhadap pemimpin yang korup itu; yang seharusnya ditolak. Jadi, dalam partisipasi politik, masyarakat dididik beretika politik sehingga bisa membedakan mana pemimpin yang benar dan mana yang tidak memiliki integritas dan kapabilitas.
Competence
Partisipasi politik harus diarahkan untuk meningkatkan basis pengetahuan seseorang untuk pengembangan pribadi dan berwawasan luas. Partisipasi politik dapat meningkatkan pengetahuan dan kompetensi warga tentang isu-isu spesifik dan memahami proses politik dan bahkan hak-hak mereka sendiri sebagai warga negara.
Misalnya, dengan belajar tentang kandidat sebelum pemungutan suara atau dengan berpartisipasi dalam diskusi politik, mereka akan menghasilkan pemahaman umum tentang masalah publik, pemimpin dan sistem politik itu sendiri. Ini yang menempatkan partisipasi politik memberikan efek edukatif.
Di Indonesia partisipasi politik tidak memberikan efek edukatif sama sekali karena yang ditonjolkan adalah aspek pencarian dukungan semu melalui hiburan, politik uang, dan politik identitas.
Kualitas Partisipasi Politik
Tahapan pilkada di Lampung tahun 2020 sudah dimulai dan di bulan ini sedang berlangsung penjaringan calon. Mekanismenya mutlak menjadi otoritas elite parpol. Sementara calon perseorangan tidak jadi pilihan utama dan nyaris calon perseorangan tidak akan ada yang berani mengambil di jalur ini.
Peran serta politik masyarakat pada tahapan ini pun nol. Rakyat tidak punya akses politik dan tidak pernah dijadikan sumber pilihan rakyat oleh partai politik dalam menentukan calon kepala daerah. Akibatnya, ideal-tidaknya dan bagus-tidaknya calon kepala daerah hanya diukur oleh persepsi elite partai dan prosesnya pun tidak transparan. Kalaupun ada penyampaian visi-misi, cenderung formalitas karena penentuan akhir dilakukan dengan mahar politik.
Akhirnya, kalau pilkada di Lampung akan memenuhi standar kepuasan kebahagiaan masyarakat, rakyat harus diberi partisipasi politik yang otonom, diberikan akses untuk menentukan proses penjaringan pemimpin, dan dijadikan sumber preferensi oleh partai politik dalam menentukan keputusan. Jika masih bertahan pada konsep lama yaitu rakyat sebatas dijadikan objek pencarian dukungan dan hanya mengandalkan popularitas tanpa didukung kapabilitas dan integritas, tidak akan muncul kualitas pemimpin yang diharapkan sesuai dengan harapan publik.
Pilkada pada akhirnya tidak memberikan efek edukatif kepada masyarakat. Rakyat tidak punya rasa memiliki terhadap pemimpin dan sistem pemerintah yang benar. Dalam perspektif studi kebahagiaan, kebahagiaan itu tidak diukur oleh hubungan antara pendapatan dengan kebahagiaan, tetapi variabel politik sekarang menjadi variabel yang memengaruhi kebahagiaan seseorang.
Misalnya, penelitian yang dilakukan Benjamin Radcliff (2001) bahwa orang berbahagia karena menemukan pemimpin dan bentuk pemerintahannya yang ideal.