Bartoven Vivit Nurdin, Akademisi Sosiologi FISIP Unila
TULISAN ini mengetengahkan tentang pentingnya kedermawanan sebagai modal sosial dalam menanggulangi dampak dari pandemi Covid-19. Terpuruknya pendapatan masyarakat adalah dampak paling buruk dirasakan saat ini. Geliat perekenomian masyarakat menengah ke bawah adalah bagian yang paling merasakan gebukan paling menyakitkan.
Dampak yang paling mengerikan bukan hanya kematian atas virus itu sendiri, melainkan juga kematian akan kemiskinan dan kelaparan akibat banyak tidak mendapatkan pendapatan lagi.
Beberapa bulan terakhir, dunia menghadapi pandemi ini. Banyak hal yang tidak bisa diprediksi dampaknya, mulai dari kelangkaan masker, penyanitasi tangan, dan vitamin C yang sulit dicari di pasaran. Meskipun tersedia, harganya melambung tinggi.
Belum lagi minimnya ketersediaan APD bagi tenaga medis sebagai garda terdepan. Bahkan, di negara-negara lain terjadi panic buying yang telah memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat, terutama negara yang melakukan lockdown.
Di Indonesia, banyak cara yang dilakukan untuk mengantisipasi wabah ini. Pemerintah harus berpikir keras untuk membuat sebuah rekayasa sosial agar penduduk tetap di rumah, menjaga jarak sosial, menghentikan segala kegiatan yang mengumpulkan orang banyak, membuat program bekerja dari rumah dan belajar di rumah, serta mengimbau memakai masker dan mencuci tangan.
Berbagai cara juga dilakukan dengan melibatkan media untuk mengimbau dengan bermacam sosialisasi, dengan mengeluarkan maklumat Kapolri, membuat aturan hukum, sampai keputusan untuk melakukan PSBB.
Bagi masyarakat ekonomi kelas menengah atas, mungkin tidak terlalu terkena dampaknya. Memiliki tabungan cukup untuk hidup dan pendapatan yang tetap, cukup membuat penduduk tetap di rumah. Mereka dapat melakukannya dengan berlangganan televisi kabel, berinternet, menyalurkan hobi memasak, berolahraga, dan segala aktivitas lain bersama keluarga.
Namun, untuk kelas bawah yang berpikir makan apa hari ini, seperti ojol, pedagang keliling, pekerja warung makan, dan sebagainya, pandemi ini telah memberikan dampak serius terhadap masalah sosial ekonomi yang baru, yakni kemiskinan dan kelaparan. Geliat perekonomian telah benar-benar merasakan dampak luar biasa dari pandemi ini.
Pemerintah telah memutar otak bagaimana ini tidak terlalu berdampak menghantam masyarakat, terutama sektor ekonomi. Beberapa hal telah dilakukan dengan keringanan pembayaran listrik dan bantuan sosial lainnya seperti Jaring Pengaman Sosial. Namun, dalam menghadapi ini, pemerintah tidak bisa melakukannya sendiri. Sangat diperlukan kerja sama semua pihak agar pandemi ini segera berakhir. Maka itu, banyak aksi kedermawanan sosial telah dilakukan berbagai kalangan saat ini, baik perorangan, yayasan, kelompok, ataupun perusahaan.
Filantropi
Dalam sosiologi dan antropologi, kita mengenal konsep filantropi, yakni cinta kepada sesama manusia (philos artinya cinta dan anthropos artinya manusia). Aksi filantropi ini kemudian diwujudkan dengan perilaku dermawan dan kecintaan pada sesama atau lebih tepatnya disebut dengan kedermawanan sosial.
Sejarahnya, tradisi ini sebetulnya sudah ada sejak zaman Yunani dan Romawi Kuno. Mereka menyumbangkan harta benda untuk keperluan orang banyak seperti pendidikan. Demikian juga di zaman Mesir Kuno yang menyumbangkan tanahnya untuk dimanfaatkan para pemuka agama dan khalayak ramai untuk kepentingan umum.
Indonesia adalah negara yang terkenal dengan kedermawanannya, yakni dengan tradisi gotong royong dan tolong-menolong sejak dahulu kala, menyumbangkan waktu, uang, dan tenaga untuk orang lain. Maka itu, semestinya masyarakat Indonesia tidak asing lagi dengan tradisi semacam ini.
Filantropi bisa dikatakan sebagai sebuah modal sosial bagi masyarakat dalam menghadapi pandemi ini. Telah banyak berbagai pihak yang melakukan berbagai aksi sosial untuk membantu saudara yang terkena dampak pandemi ini. Sebab, meskipun ini adalah tanggung jawab pemerintah, kerja sama dari berbagai pihak sangat membantu untuk mempercepat berlalunya pandemi ini.
Pihak yang paling dianggap mumpuni melakukan ini salah satunya pihak swasta, terutama perusahaan-perusahaan besar, yang sebagian besar mestinya memiliki program filantropi dan CSR. Pada saat seperti inilah, pelaksanaan filantropi sangatlah ditunggu bagi menanggulangi krisis yang menimpa masyarakat.
Perusahaan besar menjalankan program ini sebagai bentuk aksi kedermawanan sosial pada masyarakat di tengah pandemi ini. Filantropi sifatnya berkelanjutan dan jangka panjang, dampaknya sangatlah luas, serta terorganisasi dan terukur. Sekilas filantropi ini mirip dengan CSR, tetapi bedanya CSR untuk core bisnis, sedangkan filantropi relevan saat pandemi seperti ini.
Maka itu, perlu dibuat sebuah rekayasa sosial, bagaimana caranya filantropi ini dipacu pihak-pihak yang mumpuni untuk melakukannya. Sebenarnya, ini bukanlah hal sulit dilakukan karena filantropi merupakan modal sosial yang sudah ada dalam masyarakat Indonesia. Apalagi, Indonesia pernah dinobatkan menjadi salah satu negara paling dermawan di dunia. Artinya, gotong royong dan saling membantu pada masa kesulitan bukanlah sesuatu yang asing pada masyarakat Indonesia.
Sakai Sambayan
Gotong royong dan kedermawanan sosial merupakan ciri khas masyarakat Indonesia dan kearifan lokal yang ada dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Misalnya, dalam masyarakat Lampung, masyarakat yang heterogen penuh dengan rasa gotong royong yang merupakan salah satu karakter dalam budaya Lampung, yakni sakai sambayan. Sakai sambayan merupakan budaya tolong-menolong dalam masyarakat yang sudah ada dalam kehidupan masyarakat Lampung sejak dahulu kalanya.
Di tengah pandemi inilah, rasa sakai sambayan kita diuji untuk terus mempertahankan identitas dan karakter budaya luhur tersebut. Sakai sambayan perlu terus kita tumbuhkan dan gaungkan di masa pandemi ini agar tercipta budaya gotong royong dan kedermawanan sosial, bukan saja dari pihak-pihak pribadi, melainkan juga dari kelompok, yayasan, dan perusahaan untuk melakukan berbagai aksi kedermawanan sosial membantu golongan masyarakat yang terkena imbas dampak pandemi yang mengerikan ini.
Beberapa hasil penelitian saya menjelaskan masyarakat Lampung merupakan masyarakat yang terbuka akan perubahan. Meski kebudayaan telah mengalami berbagai pergeseran, ada satu yang tidak berubah, yakni identitas dan karakter, salah satunya adalah sakai sambayan, yakni gotong royong dan kedermawanan sosial.
Ini adalah core culture yang mestinya dimiliki masyarakat Lampung dan dibutuhkan untuk kondisi pandemi saat ini, baik bagi perorangan maupun kelompok, yayasan dan perusahaan, serta pihak-pihak lainnya dalam menghadapi pandemi ini. Perusahaan khususnya semestinya menjadikan sakai sambayan sebagai budaya perusahaan dalam mengembangkan bisnisnya dalam program filantropi. Dengan membangun budaya ini, keadaan pelik saat ini akan dapat diatasi dengan baik. Terakhir, tidak pernah putus doa, semoga pandemi ini segera berlalu. ***
(Artikel ini hasil kerja sama Universitas Lampung dan Lampung Post)