Arizka Warganegara, Akademisi FISIP Universitas Lampung
PERDANA Menteri Petahana Inggris Boris Johnson menang besar dan Inggris dengan segera keluar dari Uni Eropa. Begitulah salah satu judul berita utama sebuah media massa internasional. Boris Johnson adalah sosok kontroversial dalam spektrum politik Britania Raya. Sebagai seorang yang berlatar belakang keluarga kelas menengah, mantan Wali Kota London ini begitu terasa kontroversial, karena Boris-lah salah satu tokoh yang mendorong Inggris keluar dari Uni Eropa.
Nun jauh di seberang Atlantik sana, saudara muda Amerika Serikat pun mengalami gonjang-ganjing politik yang luar biasa. Tokoh kontroversial lainnya, Donald Trump, mendapat impeachment (mosi tidak percaya) dari Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat. Pada bagian lain, Spanyol, Cile, dan India, terutama setelah keluarnya undang-undang mengenai kewarganegaraan (citizenship bill), pun mengalami hal yang sama: instabilitas politik.
Termasuk juga persoalan warga Uighur di Provinsi Xinjiang, Tiongkok, yang penuh dengan dinamika dan kontroversi. Dunia politik tidak pernah lepas dari kontroversi, perdebatan, dan perebutan kuasa. Dunia hari ini memang sedang berhadapan atas ketidakpastian politik dan tentunya juga turbulensi resesi ekonomi global yang akan segera kita hadapi pada tahun 2020.
Pertanyaannya, apakah kita semua sudah siap dengan semua perubahan global ini? Dalam konteks nasional, termasuk ketidakpastian posisi negara soal keberlangsungan pilkada secara langsung. Pada awalnya, kita sangat mendukung pilkada langsung. Jikalau kita evaluasi, pilkada langsung bagus di awal saja antara kurun waktu tahun 2005 dan 2010. Setelahnya politik menjadi sangat high cost dengan prevalensi politik uang yang sangat tinggi hampir di semua wilayah Indonesia.
Desk evaluation kami misalkan mendorong sebuah reformasi elektoral segera diwujudkan. Pada saat ini, yang menjadi concern kita bersama adalah mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat melalui sistem demokrasi yang sehat. Oleh sebab itu, jika sistem pemilihan umum kita anut dan pakai baik itu di level pileg, pilkada, maupun pilpres tidak berdampak pada gejala membaiknya kesejahteraan rakyat atau justru sebaliknya ada semacam kekacauan “messy” ekonomi dan politik di tengah masyarakat. Sistem demokrasi yang dianut mestilah menjadi bagian yang di evaluasi.
Kita misalkan dapat mengusulkan kombinasi sistem pemilu. Kepala daerah kabupaten dan kota dapat saja dipilih kembali melalui DPRD dan gubernur ditunjuk langsung oleh presiden. Pemilihan anggota legislatif DPR RI dan DPRD tetap dipilih secara langsung, tetapi sistem pemilihan kembali pada sistem proporsional tertutup, rakyat cukup memilih partai, bukan nama caleg, sehingga mekanisme internal partai bisa berjalan dan lompat pagar elite dari satu partai ke partai lain bisa dikurangi.
Satu simulasi kami lakukan dalam kelas mata kuliah Analisis Politik Indonesia dengan memberikan pertanyaan kepada pada mahasiswa: apakah ide anda menyoal reformasi elektoral di Indonesia? Jawaban para mahasiswa pun beragam. Walau pada umumnya mereka tetap mendukung pilkada langsung, tetapi pada bagian lain tidak menutup opsi untuk pilkada via DPRD dengan pengawasan ketat.
Reformasi politik yang sudah berjalan lebih dari 20 tahun serta sistem pilkada langsung yang hampir 15 tahun ini dalam konteks kekinian seharusnya segera dievalusi. Usul mengenai mendorong pilkada via DPRD kembali bisa menjadi alternatif. Banyak hal yang harus dievaluasi misalkan dampak pilkada langsung terhadap politik berbasis high cost dan secara akademik ini akan berdampak pada berkembangnya capitalist elite/elite kapitalis yang akan mengooptasi logika kesejahteraan rakyat.
Setelah berjalan 15 tahun, harus diakui memang infrastruktur dan suprastruktur politik kita belumlah matang dan siap. Dimulai dari rendahnya tingkat pendidikan, pendapatan, sistem komunalisme yang secara derivatif memunculkan nepotisme dan kolusi politik, serta budaya politik paternalistik tidaklah 100 persen cocok dengan model demokrasi yang sangat liberal.
Refleksi
Sebelum grand design reformasi elektoral terlaksana, dalam konteks Lampung, setelah mengamati perjalanan politik dalam satu tahun terakhir, terdapat beberapa hal evalusi pemilu.
Pertama, dalam konteks penyelenggara. Kita mendorong profesionalitas penyelenggara pemilu mesti ditingkatkan, terutama pada level badan penyelenggaraan pemilu yang dibuat ad hoc. Kita menemukan misalkan masih banyak sekali petugas KPPS yang masih belum paham berbuat apa ketika ditemukan disputes pemilu, termasuk juga kelelahan dalam mengorganisasi Pemilu 2019 lalu.
Dalam konteks lain, tiga serangkai (KPU, PPK dan KPPS) sebenarnya juga sangat berperan dalam peningkatan partisipasi pemilu dalam setiap event pemilihan umum. Angka partisipasi Pemilu 2019 atau voter turn out di Provinsi Lampung mencapai angka 80,60% untuk pilres dan 80,50% untuk DPR. Angka ini meningkat dengan cukup signifikan, karena terdapat beberapa dugaan faktor yang meningkatkan angka partisipasi politik tersebut, antara lain faktor politik uang, kontestasi dua pasangan capres Jokowi dan Prabowo, serta keberhasilan penyelenggara melakukan sosialisasi pemilu.
Kedua, dalam konteks pemilih. Menjadi concern bersama adalah soal prevalensi politik uang dan menjadi pekerjaan rumah yang berat. Mereduksi potensi prevalensi politik uang di saat yang bersamaan pendapatan per kapita warga masih dalam level yang relatif rendah. Kajian mantan Wakil Presiden Boediono pada tahun 2006 menyatakan bahwa ambang batas GDP per kapita 6.000 dolar akan membuat demokrasi kita berjalan dengan baik perlu untuk dikaji lebih lanjut mengingat prevalensi politik uang semakin meninggi.
Ketiga, dalam konteks peserta. Ini menjadi lebih kompleks, problem kegagalan institusionalisasi partai politik menjadikan kompetisi di ranah elite tidak berjalan semestinya. Visi, misi, dan platform politik menjadi hal yang dikesampingkan dibandingkan dengan logistik politik. Ini membuat sistem politik semakin mengarah pada persaingan elite kapital ketimbang substansi.
Pada akhirnya, demokratisasi adalah sebuah momen proses coba dan salah. Evaluasi setiap kegagalan pemilu mesti menjadi concern bersama pada tahun pelaksanaan pemilu selanjutnya. Hanya saja, apakah kita serius melakukan evaluasi setiap akhir pemilu atau hal tersebut hanya rutinitas saja?