Jakarta (Lampost.co): Perkembangan calon tunggal yang masif mengancam demokrasi. Sebab pilihan masyarakat terhadap sosok pemimpin menjadi minim.
Pakar Komunikasi Politik Antonius Benny Susetyo menilai fenomena calon tunggal dalam Pilkada mengancam esensi dari demokrasi itu sendiri. Ia melanjutkan implikasi dari fenomena ini tidak hanya memengaruhi kualitas demokrasi, tetapi juga kemampuan pemerintah dalam merespons masalah-masalah lokal secara efektif.
“Fenomena calon tunggal dalam Pilkada adalah sinyal berbahaya dari matinya demokrasi. Ketika hanya ada satu calon yang tersedia, proses pemilihan menjadi sekadar formalitas. Hal itu menghilangkan kebebasan memilih yang merupakan hak dasar setiap warga negara,” kata Antonius di Jakarta, Kamis, 8 Agustus 2024.
“Ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Di mana seharusnya ada ruang bagi berbagai ide, visi, dan solusi untuk bersaing secara sehat demi kebaikan bersama. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menawarkan alternatif pemimpin yang memiliki karakter dan kemampuan untuk berpihak kepada kepentingan publik,” ujarnya.
Ketika hanya ada satu calon, pemimpin yang terpilih sering kali hanyalah karbitan, yang tidak memiliki akar pada hak-hak dan persoalan yang dihadapi masyarakat. Kondisi ini sangat berbahaya jika ada pemaksaan. Karena pemerintahan tidak akan efektif dalam merespons persoalan-persoalan publik.
“Pemimpin yang terpilih tanpa adanya kompetisi yang sehat cenderung kurang bertanggung jawab dan kurang memiliki visi yang jelas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, mereka lebih cenderung mengutamakan kepentingan kelompok atau individu tertentu yang mendukung pencalonan mereka,” katanya.