Yogyakarta (Lampost.co): Setiap tahun pemerintah rutin menggulirkan dana desa sebagai salah satu upaya desentralisasi fiskal. Stimulus itu memang memberi sejumlah dampak positif bagi pembangunan. Namun, dana desa juga memunculkan dampak negatif.
Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Jaka Sucipta menyampaikan hal tersebut dalam diskusi bersama awak media di Gunungkidul, Yogyakarta, Rabu, 1 Mei 2025, malam.
Baca juga: Daftar Tunggu Haji di Lampung Capai 24 Tahun, Berangkat Tahun 2048!
Salah satu dampak negatif dari pengucuran dana desa adalah maraknya korupsi di lingkup pemerintahan desa. “Ekses negatif salah satunya korupsi. Korupsi dulu terpusat. Sekarang, dengan era desentralisasi, korupsi bisa sampai ke kabupaten/kota, bahkan sampai ke desa. Ini ekses negatif yang menjadi keprihatinan kita semua,” ujar Jaka.
Untungnya, publik terbuka dapat menelusuri penyelewengan dana di lingkup pemerintahan desa. Salah satu yang paling mencolok ialah penggunaan dana desa untuk karaoke para pejabat atau kepala desa.
Ada pula penggunaan dana desa yang tampak digunakan dengan benar. Namun ternyata ada permainan di belakangnya. Misal, penggunaan dana desa untuk pengadaan ambulans. Itu bagus, namun ternyata pada dasarnya ada cawe-cawe dari rekanan pejabat desa terkait.
“Itu ekses-ekses, perilaku korupsi. Itu juga bisa kita lihat salah satunya dari laporan Indonesia Corruption Watch. Mereka melaporkan angka korupsi di desa meningkat,” tuturnya.
Jaka mengaku pihaknya tak memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan atas praktik lancung tersebut. Penanganan tindak pidana sepenuhnya menjadi kuasa aparat penegak hukum.
Oleh karena itu, Kemenkeu selalu meminta kerja sama dari instansi penegak hukum untuk mengawal penggunaan dana desa. Kewenangan yang instansi miliki sebagai pengelola keuangan negara terbatas pada penghentian pemberian dana desa hingga pencabutan insentif.
“Di pihak kami, setiap ada penyalahgunaan dana desa, kami langsung hentikan penyalurannya. Kalau ada kades atau perangkat desanya kena kasus, kami hentikan sampai ada penunjukkan pelaksana tugasnya. Itu yang bisa kami lakukan,” jelas Jaka.
Menggeser Nilai Masyarakat
Selain memunculkan praktik korupsi, dana desa saat ini juga ada dugaan menggeser nilai-nilai luhur masyarakat. Utamanya di level pejabat dan perangkat desa. Berdasarkan kajian sementara dengan Badan Intelejen Negara (BIN), kata Jaka, dana desa berpotensi memicu pergeseran nilai sosial masyarakat.
“Kalau dulu, misal, saya ini dari kampung dan itu kegotongroyongan, kesukarelaan, itu melekat. Sekarang dengan adanya dana desa menjadi transaksional. Misal, yang kerja bakti yang dapat BLT saja,” imbuh Jaka.
“Ini memang sedang kami kaji bagaimana dampak dana desa yang sifatnya eligible asset seperti nilai-nilai kegotongroyongan sedang kami lakukan. Karena ini disinyalir mereduksi nilai-nilai sosial. Tapi sekali lagi, ini masih dalam proses semacam perkiraan, jadi memang harus dibuktikan dengan sebuah kajian,” tandasnya.
Sejak 2015 hingga 2024, pemerintah telah menyalurkan dana desa sebesar Rp609,68 triliun. Sedangkan di 2024, alokasi dana desa ditetapkan sebesar Rp71 triliun. Itu diberikan untuk 75.259 desa di 434 kabupaten/kota.