Denpasar (Lampost.co): Kolaborasi lintas sektor harus diperkuat untuk memasyarakatkan pentingnya pola hidup keseharian yang bersifat antisipatif dalam menghadapi dampak perubahan iklim di Tanah Air.
“Upaya mitigasi bencana kerap berhadapan dengan siklus bencana berulang seperti banjir di berbagai kota di pantai utara Jawa, serta wilayah Indonesia lainnya,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat pada diskusi bertema, Cuaca Ekstrem dan Ancamannya Bagi Indonesia pada Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu, 20 Maret 2024.
Laporan BNPB, tambah Lestari, terdapat 292 bencana alam di Indonesia pada rentang 1 Januari-15 Februari 2024.
Bahkan, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, bencana melanda sejumlah wilayah di Jawa Barat dan Bali, seperti longsor setelah hujan lebat, hingga menimbulkan korban jiwa.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, menurut Rerie yang juga juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, Indonesia sangat rentan terhadap berbagai bentuk cuaca ekstrem, yang dapat mempengaruhi kehidupan jutaan orang serta ekosistemnya yang beragam.
Catatan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bapennas), tambah Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, mengestimasi kerugian negara akibat perubahan iklim periode 2020-2024 sebesar Rp544 triliun. Kerugian lainnya adalah hilangnya nyawa warga negara akibat bencana alam yang terjadi.
Berdasarkan kenyataan itu, Rerie berharap setiap warga negara menyadari bahwa kita adalah bagian dari ekosistem, yang setiap tindakan kita dalam bentuk mengekplorasi dan mengeksploitasi alam menjadi bagian dari penyebab hadirnya cuaca ekstrem yang berpotensi memicu bencana.
Pemahaman Dampak Hidrometeorologi
Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB, Raditya Jati berpendapat pemahaman terhadap dampak hidrometeorologi penting untuk dipahami masyarakat.
Raditya mengungkapkan, BNPB mengedepankan pemahaman terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya dampak hidrometeorologi itu. Melakukan apa saja yang bisa untuk menghadapi atau menyikapi sejumlah risiko yang ada.
Dalam upaya itu, jelas Raditya, membangun sistem informasi yang mumpuni menjadi penting. Diakui dia, untuk memahami risiko bencana memerlukan sistem informasi yang baik dan data yang akurat.
Karena, tambah dia, hampir di seluruh wilayah Indonesia mengalami dampak anomali iklim, sehingga perlu langkah-langkah antisipasi melalui penguatan mitigasi hingga tingkat paling kecil, seperti di desa-desa.
Raditya mengatakan kolaborasi pentahelix yang melibatkan akademisi, pengusaha, komunitas, pemerintah dan media massa, harus mampu terwujud. Dalam upaya membangun resiliensi masyarakat hingga tingkat desa untuk menghadapi sejumlah risiko bencana atas dampak perubahan iklim.
Peringatan Dini Cuaca Ekstrem
Kepala Tropical Cyclone Warning Center Jakarta – BMKG, Agie Wandala Putra berpendapat ancaman cuaca ekstrem sangat penting dipahami masyarakat. Sehingga, tambah dia, informasi cuaca dan peringatan dini cuaca ekstrem harus mudah dipahami.
Menurut Agie penting dapat mengamati kondisi cuaca dan mempelajarinya, agar masyarakat siap dan tanggap terhadap berbagai ancaman yang timbul.
Saat ini, ungkap dia, kita sedang menghadapi dampak perubahan iklim dengan berbagai bentuknya seperti suhu muka bumi yang terus meningkat, sehingga kawasan es di puncak Jayawijaya misalnya semakin menipis.
Menurut Agie, sesuatu sedang terjadi pada bumi dengan berbagai implikasinya. Dia mengingatkan tidak semua wilayah di Indonesia memiliki karakteristik dan kondisi iklim yang sama. Sehingga, tegas Agie, kepedulian pemerintah daerah dalam memahami risiko bencana di wilayahnya masing-masing sangat penting.
Dalam merespon kondisi tersebut, Agie menyarankan agar masyarakat menjaga karakteristik di lingkungan mereka dengan berbagai upaya seperti antara lain perbaikan drainase.
Ketua Umum DPP Perempuan Tani HKTI, Dian Novita Susanto mengungkapkan perubahan iklim berdampak serius pada pertanian dengan adanya kekeringan panjang, musim tanam terganggu dan terjadi ledakan penyakit tanaman.
Produksi beras pun, jelas Novita, turun 15%-45% dari tahun sebelumnya. Bahkan, tambah dia, ada yang gagal panen.
Dampak perubahan iklim, tambah dia, bukan hanya terhadap cuaca lokal, tetapi juga dalam bentuk pemanasan global. Penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan dan pembukaan lahan, tambah dia, mempengaruhi fenomena pemanasan global.
Menurut Novita, menyikapi cuaca ekstrem harus melakukan sejumlah upaya mitigasi. Antara lain dengan pemanfaatan tanaman yang toleran terhadap cuaca dan mengupayakan biodiversifikasi.
Ancaman Perubahan Iklam bagi Nelayan
Perempuan Nelayan Demak, Masnuah mengungkapkan ancaman perubahan iklim bagi para nelayan adalah ancaman yang nyata.
Masnuah mengungkapkan nelayan menghadapi kenyataan pahit di keseharian. Mulai dari hasil tangkapan ikan yang menurun drastis, hingga air rob yang menenggelamkan desa pesisir.
Menurut Masnuah, perempuan sampai ikut melaut itu juga karena dampak perubahan iklim. Perempuan terpanggil untuk menjadi nelayan itu, tambah dia, karena jumlah tangkapan ikan yang terus menurun.
Ironisnya, tegas dia, pemerintah tidak memberikan perlakuan yang sama antara perempuan nelayan dan nelayan laki-laki. Selain itu, ungkap Masnuah, sejumlah kebijakan pembangunan di kawasan pesisir juga tidak mendukung perbaikan terhadap lingkungan sekitarnya.
Pembangunan jalan tol dan izin penambangan pasir di kawasan sedimentasi sekitar pesisir Kabupaten Demak, ujar Masnuah, malah mempercepat tenggelamnya desa-desa di kawasan itu.
Ikuti terus berita dan artikel Lampost.co lainnya di Google News.