Jakarta (Lampost.co) — Saat ini konflik di Timur Tengah semakin memanas, tidak hanya antara Palestina dengan Israel. Kini konflik di Timur Tengah bertambah meluas antara Iran-Israel.
Negara Timur Tengah ialah negara produsen minyak terbesar di dunia yakni kurang lebih sekitar 13 juta barel per hari bisa didistribusikan ke seluruh dunia.
“Pertama, kebutuhan Indonesia sekitar 3,45 juta barel per bulan. Ini cukup signifikan ketika ada konflik antara Iran dengan Israel yang dikhawatirkan tentu akan ada keterbatasan suplai. Karena ada perang, orang mau ngirim atau mau ekspor itu kan juga lebih sulit. Akibatnya, ketika suplai terbatas, permintaan tetap saja, yang terjadi ialah kenaikan harga minyak,” ucap Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, di Diskusi Publik Indef pada Sabtu, 20 April 2024.
Padahal, lanjut Esther, harga minyak merupakan komponen dari biaya transportasi. Bila biaya transportasi naik karena harga minyak naik, hal ini akan berdampak pada kenaikan harga-harga barang.
“Dampak yang kedua, karena kenaikan harga minyak tinggi, yang terjadi kalau kita bicara APBN kan ada yang namanya asumsi makro dengan indikator makro ekonomi harga minyak. Nah ini pasti akan berdampak pada pembengkakan biaya-biaya atau anggaran,” kata dia.
Defisit Fiskal
Karena itu, sambung dia, kenaikan harga minyak diprediksi akan menimbulkan defisit fiskal sebesar 2% sampai 3%. Esther menilai, apabila pemerintah tidak bisa mengelola anggaran yang ada di APBN, kemungkinan fiscal space Indonesia akan jauh lebih kecil lagi.
“Jadi yang harus di lakukan oleh pemerintah yaitu melihat lagi anggaran belanja agar lebih efektif. Di arahkan ke belanja-belanja produktif yang tidak hanya konsumtif, seperti makan siang gratis, saya rasa itu belanja yang konsumtif ya. Namun lebih baik di arahkan ke belanja produktif yang bisa meng-generate income atau produktivitas dari sektor bisnis dan berdampak jangka panjang,” kata dia.
Maka dari itu, apabila belanja pemerintah bisa di arahkan ke belanja yang lebih produktif, Esther yakin ini akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih berkelanjutan dan lebih terpantau dalam jangka panjang.
Yang ketiga, Esther menyebut bahwa konflik global ini pasti akan berdampak ke Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus memperkuat fundamental ekonomi.
“Caranya dengan meningkatkan ekspor atau devisa negara yang lebih banyak dari sektor-sektor seperti pariwisata. Kemudian dari sisi peningkatan ekspor dari barang komoditas nonmigas. Dan yang satu lagi ialah kita harus mengurangi ketergantungan dari pihak luar,” kata dia.