Bandar Lampung (lampost.co)–Outsourcing, atau alih daya, menjadi bagian dari sistem ketenagakerjaan Indonesia yang resmi melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri itu awalnya bertujuan meningkatkan efisiensi perusahaan.
Caranya dengan menyerahkan pekerjaan penunjang kepada pihak ketiga. Namun, sejak awal, sistem ini menuai kritik karena merugikan buruh.
“Outsourcing membuat buruh tidak mendapatkan kepastian kerja dan hak-hak yang layak,” ujar Deden Darmansyah, Ketua Panitia Lokal Harlah Bung Karno, dalam kontrak politik Megawati dengan serikat buruh pada 2009. Dalam kontrak tersebut, Megawati berjanji menghapus outsourcing jika terpilih kembali sebagai presiden.
Meskipun demikian, praktik outsourcing terus berlanjut hingga kini. Presiden Prabowo Subianto, dalam peringatan Hari Buruh Internasional 2025, menyatakan niatnya untuk menghapus sistem ini secara bertahap. “Sebagai hadiah untuk kaum buruh hari ini, saya akan segera membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional,” kata Prabowo di hadapan ribuan buruh di Lapangan Monas, Jakarta.
Sambut Baik
Langkah ini disambut baik oleh serikat buruh yang telah lama menuntut penghapusan outsourcing. Namun, Prabowo menekankan perlunya keseimbangan antara kepentingan pekerja dan investasi. “Kita ingin hapus outsourcing. Tapi, kita juga harus realistis. Kita harus menjaga kepentingan para investor juga,” lanjutnya.
Hendrawan Supratikno, politikus senior PDI-P, menyatakan bahwa penyesuaian kebijakan adalah hal wajar dalam menghadapi perubahan zaman. “Jika dalam praktiknya outsourcing lebih banyak disalahgunakan, tentu regulasinya bisa diperbaiki,” ujarnya.
Dengan dinamika ini, masa depan outsourcing di Indonesia masih menjadi perdebatan. Apakah sistem ini akan dihapus sepenuhnya atau direformasi, tergantung pada kebijakan pemerintah dan tekanan dari berbagai pihak.