Jakarta (lampost.co) — Kepolisian mengungkap bahwa siswa berinisial F, pelaku ledakan di SMAN 72 Jakarta, mengalami perasaan terisolasi. Ia merasa tidak memiliki tempat untuk mencurahkan isi hati, baik di rumah maupun di sekolah.
“Yang bersangkutan merasa sendiri dan tidak punya tempat untuk menyampaikan keluh kesah, baik di lingkungan keluarga, pertemanan, maupun sekolah,” ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Iman Imanuddin saat konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa, 11 November 2025.
Menurut Iman, kondisi psikologis tersebut menjadi salah satu pemicu tindakan pelanggaran hukum F. Polisi bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) kini fokus menindaklanjuti faktor tersebut.
“Hal ini menjadi perhatian kami bersama KPAI agar dapat tertangani secara tepat,” tambahnya. Ledakan terjadi di dua titik dalam lingkungan SMAN 72 Jakarta di area masjid dan dekat bank sampah, saat khotbah Salat Jumat pada 7 November 2025.
Densus 88 Antiteror Polri menemukan tujuh bahan peledak di lokasi, empat di antaranya meledak. Selain itu, dua senjata mainan juga ditemukan di sekitar tempat kejadian.
Sistem Peradilan Anak
Akibat insiden tersebut, 96 orang mengalami luka-luka, termasuk pelaku. Polisi menetapkan F sebagai anak berkonflik dengan hukum (ABH). Ia diduga melanggar Pasal 80 ayat (2) Jo Pasal 76C Undang-Undang Perlindungan Anak, Pasal 355 KUHP, Pasal 187 KUHP, serta Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Meski begitu, kepolisian menegaskan akan menerapkan Sistem Peradilan Anak, mengingat pelaku maupun sebagian korban masih berusia di bawah umur. Pendekatan ini diharapkan mampu menyeimbangkan aspek hukum dengan perlindungan psikologis anak. (MI)








