Jakarta (Lampost.co) — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang terkatung-katung menunjukkan ketidakpedulian pimpinan DPR terhadap hak-hak dasar kelompok marginal.
“Pembiaran ini menandakan pimpinan DPR mengabaikan penderitaan pekerja rumah tangga yang masih rentan terhadap pelanggaran hak dasar mereka sebagai manusia. Hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi kepemimpinan DPR mendatang,” ujar Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, dalam pernyataan tertulis pada Sabtu, 3 Agustus 2024.
Menurut Lestari, proses legislasi RUU PPRT telah mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Pada sidang paripurna 21 Maret 2023, semua fraksi di DPR mendukung RUU PPRT sebagai RUU inisiatif DPR. Dukungan ini juga disambut baik oleh eksekutif. Presiden mengirimkan Surpres pada 25 April 2023, menyatakan kesiapan pemerintah membahas RUU tersebut dengan DPR, dan menunjuk Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai perwakilan pemerintah.
Baca juga: 5 Juta PRT Menanti Pengesahan RUU PPRT
Pemerintah juga telah mengirimkan daftar inventarisasi masalah (DIM) untuk dibahas dalam panitia khusus DPR. Namun, hingga kini pimpinan DPR belum menindaklanjuti Surpres dan DIM dari pemerintah.
Lestari menegaskan bahwa mewujudkan RUU PPRT menjadi undang-undang adalah bagian dari menjalankan amanah konstitusi, yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Membiarkan RUU PPRT tidak menjadi undang-undang berarti mengabaikan amanah konstitusi tersebut.
Oleh karena itu, Lestari mendesak pimpinan DPR untuk segera melanjutkan pembahasan RUU PPRT hingga disahkan menjadi undang-undang. Agar tidak terjadi preseden buruk bahwa pimpinan DPR boleh mengabaikan amanah konstitusi dan nilai-nilai kemanusiaan.