Jakarta (Lampost.co) — Pengadilan Negeri Jakarta Selatan resmi menolak permohonan praperadilan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim. Hakim menyatakan Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak melakukan pelanggaran prosedur dalam menetapkan Nadiem sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan sistem Chromebook.
Hakim Tunggal Ketut Darpawan menyampaikan penyidikan Kejagung sesuai dengan hukum acara pidana. “Penyidikan termohon untuk mengumpulkan bukti agar menjadi terang tindak pidana guna menemukan tersangka sudah berdasarkan prosedur hukum acara pidana,” ujar Ketut saat membacakan putusan di PN Jakarta Selatan, Senin (13/10).
Hakim menilai Kejagung memiliki bukti yang cukup dalam menetapkan Nadiem sebagai tersangka. Ia juga menolak keberatan tim hukum Nadiem yang menyoal surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP). Menurut majelis, surat itu sah secara hukum.
Selain itu, hakim menegaskan bukti yang tim kuasa hukum Nadiem ajukan tidak termasuk dalam ranah praperadilan. “Pembuktiannya harus dalam persidangan tindak pidana korupsi, bukan di praperadilan,” tegasnya.
Atas putusan ini, Kejagung diperintahkan untuk melanjutkan proses hukum terhadap kasus dugaan korupsi tersebut. Pengadilan juga membebankan biaya perkara kepada pihak pemohon, yaitu Nadiem Makarim.
Kasus yang menjerat Nadiem Makarim berkaitan dengan proyek pengadaan perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) berbasis sistem operasi Chromebook untuk satuan pendidikan dasar hingga menengah.
Kasus Chromebook Bernilai Triliunan
Penyidikan kasus itu sejak 20 Mei 2025. Dalam perjalanannya, Kejagung menetapkan lima orang tersangka, yakni Nadiem Makarim, mantan staf khusus Jurist Tan (JT), konsultan Ibrahim Arief (IA), mantan Direktur SMP Kemendikbudristek Mulyatsah (MUL), serta mantan Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek Sri Wahyuningsih (SW).
Menurut hasil penyelidikan, proyek Chromebook bermasalah sejak tahap awal. Hasil uji coba terhadap 1.000 unit Chromebook pada 2019 menunjukkan efektivitasnya rendah karena ketergantungan tinggi terhadap koneksi internet. Padahal, banyak sekolah di daerah belum memiliki akses internet yang stabil.
Penyidik menduga ada pemufakatan jahat dalam proses pengadaan tersebut. Tim teknis diduga diarahkan untuk menyusun kajian pengadaan TIK dengan spesifikasi Chromebook sebagai satu-satunya pilihan unggulan. Proyek pengadaan TIK itu menghabiskan anggaran sebesar Rp3,58 triliun dan dana Rp6,3 triliun dari dana alokasi khusus (DAK). Total nilai proyek mencapai Rp9,88 triliun.
Dana besar itu untuk penyediaan perangkat pembelajaran digital di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Namun, hasil implementasinya justru tidak efisien dan tidak sesuai dengan kebutuhan banyak sekolah. Usai putusan praperadilan itu, Kejagung akan melanjutkan proses hukum hingga tahap persidangan.
Juru bicara Kejagung, menyebut tim penyidik tengah memperdalam bukti dan menyiapkan berkas dakwaan terhadap para tersangka.
Sementara itu, tim kuasa hukum Nadiem belum memberikan pernyataan resmi usai keputusan dibacakan. Namun, sumber internal menyebut mereka masih mempertimbangkan langkah hukum lanjutan, termasuk kemungkinan mengajukan upaya hukum lain.
Kasus itu menjadi sorotan publik karena melibatkan proyek besar di sektor pendidikan yang seharusnya berorientasi pada peningkatan mutu pembelajaran. Proses hukum terhadap Nadiem Makarim kini menjadi ujian penting bagi transparansi dan akuntabilitas program digitalisasi pendidikan di Indonesia.