Jakarta (Lampost.co) — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) pemerintahan Prabowo-Gibran tengah menuai sorotan tajam. Di balik niat baik menekan angka stunting dan memperkuat gizi anak, muncul kekhawatiran serius terkait potensi ledakan sampah makanan nasional.
Poin Penting:
-
Program MBG berisiko meningkatkan volume sampah makanan nasional.
-
Sisa makanan menyumbang 39,36% dari total sampah Indonesia.
-
Aktivis lingkungan mendorong penerapan ekonomi sirkular pangan.
Ketua Dewan Pengurus Perkumpulan IDEA, Yanuardi, mengingatkan tanpa perencanaan matang, program ini bisa menimbulkan masalah baru bagi lingkungan. “Bayangkan produksi dan pengiriman jutaan porsi makanan setiap hari. Jika rantai pasok panjang dan menunya seragam, sebagian makanan bisa terbuang karena tidak sesuai selera anak atau rusak di perjalanan,” ujarnya dalam laman resmi perkumpulanidea.org.
Sampah Makanan Jadi Ancaman Baru
Sementara itu, data Sistem Informasi Pengendalian Sampah Nasional (SIPSN) KLHK 2024 menunjukkan sisa makanan menyumbang 39,36% dari total 35,02 juta ton sampah nasional. Bahkan di DIY, angkanya mencapai 52,55%, tertinggi di Indonesia. Fakta ini menegaskan masalah food waste sudah mengakar sebelum program MBG dijalankan secara masif.
Baca juga: Pemerintah Terus Matangkan Perpres Tata Kelola Program MBG
Menurut Yanuardi, jika perilaku konsumsi masyarakat tidak berubah, program makan gratis justru berisiko menjadi generator baru, yakni ledakan sampah pangan. “Kita sudah punya masalah kronis dengan membuang makanan. Program MBG bisa memperburuk situasi jika pengelolaannya tidak dengan prinsip efisiensi,” ujarnya.
Dampak Berlapis: Ekonomi, Lingkungan, Sosial
Masalah food loss and waste (FLW) bukan sekadar urusan dapur. Ia berdampak luas pada tiga dimensi utama: ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Secara ekonomi, setiap makanan yang terbuang berarti pemborosan sumber daya nasional. “Ada modal, tenaga, air, dan energi yang terbuang sia-sia untuk memproduksi makanan yang akhirnya tidak dimakan,” kata Yanuardi.
Dari sisi lingkungan, sampah makanan di tempat pembuangan akhir (TPA) menghasilkan gas metana (CH₄), yang 25 kali lebih kuat daripada karbon dioksida (CO₂) dalam memerangkap panas bumi. Akibatnya, timbunan makanan di TPA mempercepat laju perubahan iklim.
Sementara itu, dari dimensi sosial, ketimpangan pangan makin mencolok. “Di satu sisi makanan berlimpah dan terbuang, di sisi lain jutaan warga masih kekurangan gizi. Ini bentuk ketidakadilan pangan,” katanya.
Ekonomi Sirkular Pangan
Untuk menghindari krisis baru, Yanuardi mendorong pemerintah menerapkan prinsip ekonomi sirkular pangan (food circularity). Pendekatan ini menjaga agar bahan pangan dan nutrisi tetap berputar dalam sistem, meniru siklus alam yang minim limbah.
Tiga langkah utama meliputi:
Pencegahan (prevention) – merencanakan menu, mengatur stok, dan mengedukasi masyarakat agar tidak berlebihan.
Pemanfaatan ulang (redistribute & repurpose) – menyalurkan makanan layak konsumsi ke food bank atau program donasi.
Pengolahan ulang (recycle & regenerate) – mengubah sisa makanan menjadi kompos, pakan ternak, atau biogas.
Dengan sistem ini, Indonesia tidak hanya menekan kerugian finansial dan dampak lingkungan, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi hijau dan memperkuat keadilan pangan nasional.