Jakarta (Lampost.co)— Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjadikan teknologi sebagai solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
“Kami harus mentransformasi pendidikan tinggi menuju digitalisasi,” kata Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Abdul Haris, di acara Education USA di Bali, Rabu, 16 Oktober 2024.
Abdul Haris menjelaskan bahwa kualitas pendidikan tinggi terkait erat dengan akreditasi. Dari 4.356 institusi pendidikan tinggi di Indonesia, 1.501 di antaranya belum terakreditasi.
Institusi-institusi ini melayani sekitar 9,8 juta mahasiswa, 338 ribu dosen, dan 32 ribu program studi. Namun hanya lima universitas Indonesia yang masuk dalam peringkat 500 besar dunia.
Ia menyoroti tiga isu utama pendidikan tinggi Indonesia: kualitas, akses, dan keterkaitan lulusan dengan dunia kerja. Misalnya, hanya 2,8 persen pelajar disabilitas yang menyelesaikan pendidikan tinggi, dan sekitar satu juta lulusan perguruan tinggi setiap tahun justru menganggur. Dengan 80 persen di antaranya bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan jurusan kuliah mereka.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah menginisiasi kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Setiap tahun, lebih dari 2.000 lulusan S1 dikirim ke luar negeri, dengan sekitar 50 persen menuju Amerika Serikat.
Selain itu, teknologi terintegrasikan secara humanis dalam proses pembelajaran daring. Kemendikbudristek juga mengembangkan Sistem Pembelajaran Daring (Spada) Indonesia untuk mengatasi keterbatasan kapasitas institusi pendidikan tinggi.
Spada juga bekerja sama dengan Institut Pendidikan Siber Indonesia untuk menyediakan akses pembelajaran berkualitas tinggi dari universitas terbaik dunia.
“Spada Indonesia telah bermitra dengan Institut Pendidikan Siber Indonesia untuk memberikan kesempatan pembelajaran kualitas tinggi dari universitas dan institusi terbaik dunia,” kata Abdul Haris.