Jakarta (Lampost.co) — Negara harus hadir melindungi setiap warganya dengan menempatkan asas praduga tak bersalah, mengesampingkan kepentingan tertentu dalam upaya mendukung inisiatif masyarakat melestarikan lingkungan.
“Jangan sampai inisiatif partisipasi masyarakat dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan melalui ruang virtual malah harus berhadapan dengan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat pada diskusi daring bertema Perangkap UU ITE terhadap Penggiat Lingkungan dan (Media) Sosial yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu, 07 Februari 2024.
Diskusi yang dimoderatori Indra Maulana (Pemimpin Redaksi Medcom.id) itu, menghadirkan Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.Agr.Sc (Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI), Dr. Alpius Sarumaha, S.H., M.H., (Direktur Pengundangan, Penerjemahan, dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan, dan Plh. Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan I, KemenkumHam RI) dan Zenzi Suhadi (Direktur Eskekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia /WALHI) sebagai narasumber.
Selain itu, hadir pula Arimbi Heroepoetri, S.H, LL.M (Pemerhati Lingkungan) dan Bambang Zakaria (Warga Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, esensi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sejatinya adalah melindungi seluruh warga negara dalam ruang digital.
Secara spesifik, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, perlindungan dimaksud merujuk pada upaya mencegah tersebarnya informasi palsu, berita bohong, kekerasan virtual, ancaman dan distorsi informasi yang memicu konflik sosial.
Di sisi lain, tambah Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, dengan menggunakan UU ITE, pejuang lingkungan #SaveKarimunjawa dikriminalisasi karena aktif menyuarakan penolakan terhadap keberadaan tambak udang Vaname ilegal yang tersebar masif di Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Dalam konteks tersebut, tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, negara harus hadir melindungi warga secara menyeluruh dalam ruang virtual tanpa diskriminasi.
Direktur Eskekutif WALHI, Zenzi Suhadi mengungkapkan konstitusi melindungi semua orang dan mereka berhak mendapat lingkungan yang baik dan sehat. Selain itu, setiap negara wajib terlibat dalam penyelamatan lingkungan hidup.
Atas dasar itulah, jelas Zenzi, setiap orang harus berperan melindungi lingkungan hidupnya.
Konflik terkait lingkungan kerap terjadi, tambah Zenzi, karena ada cara pandang yang berbeda antara masyarakat dan negara.
Menurut dia, masyarakat memiliki pedoman hidup terkait aturan benar atau salah dan baik atau buruk. Penilaian itu, tambah dia, sudah dipakai pada praktik keseharian dalam pengelolaan lingkungan berdasarkan norma dan etika.
Sementara, ujar Zenzi, negara tidak memandang satu kebijakan atas benar atau salah dan baik atau buruk, tetapi semata berdasarkan legal dan tidak legal.
Sehingga, tegas dia, ketika ada masyarakat yang melawan legalitas suatu kebijakan, negara menilai masyarakat yang mengkritik kebijakan itu sebagai pihak jahat.
Akibatnya, tambah Zenzi, kerusakan lingkungan Indonesia justru masif terjadi diawali oleh terbitnya kebijakan. Seharusnya, jelas dia, kritik terhadap suatu kebijakan dijadikan dasar untuk mereview kebijakan tersebut.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Satyawan Pudyatmoko berpendapat setiap upaya konservasi di dunia memiliki tiga tujuan utama, yaitu menjaga ekosistem dan mempertahankan proses-proses ekologis penting yang menjadi pengganggu kehidupan manusia.
Selain itu, tambah dia, perlindungan keanekaragaman spesies dan genetik satwa dan tumbuhan liar dari kepunahan yang terjadi alami. Bila tidak diatur dengan upaya konservasi, kepunahan sejumlah spesies akan lebih cepat.
Tujuan berikutnya adalah pemanfaatan secara lestari untuk menyeimbangkan kepentingan konservasi dan ekonomi.
Menurut Setyawan, kebijakan lingkungan hidup bukan sekadar legal atau tidak legal, karena undang-undang tentang lingkungan hidup selalu dilengkapi aturan Amdal dan aturan-aturan pelaksanaannya.
Setyawan berpendapat hadirnya undang-undang tentang lingkungan hidup itu untuk melindungi wilayah Indonesia dari kerusakan lingkungan dan melindungi kehidupan manusia.
Sejumlah tujuan dari kebijakan tersebut, tambah dia, memperlihatkan bahwa kebijakan yang dihadirkan pemerintah bukan didasari dengan legal atau tidak legal semata.
Warga Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah, Bambang Zakaria mengungkapkan dirinya dan keluarga hidup dan mencari nafkah di lingkungan Karimunjawa berdasarkan budaya yang dikenalnya sejak lahir.
Karena sejatinya, ujar Bambang, warga Karimunjawa adalah pendatang yang terdiri dari sejumlah suku antara lain Jawa, Bugis, Madura dan Mandar.
Namun, tegas dia, beberapa tahun belakangan ini masyarakat Karimunjawa dipaksa memakai undang-undang dalam mengelola lingkungan.
Padahal, jelas Bambang, ketika belum ada penerapan undang-undang dalam pengelolaan lingkungan di Karimunjawa dengan mengedepan kebersamaan, lingkungan hidup di Karimunjawa kondisinya jauh lebih baik.
Menurut Bambang, pada 2017 mulai terlihat eksploitasi besar-besaran lingkungan untuk tambak udang di Karimujawa.
Dia mengaku fenomena tersebut dan dampaknya sudah coba dilaporkan ke DPRD dan Pemerintah Kabupaten setempat, serta ke Balai Taman Nasional, namun tidak mendapat repson yang nyata.
Pada akhirnya, ungkap Bambang, kondisi eksploitasi Karimunjawa itu disebarkan melalui media sosial oleh aktivis lingkungan yang bergiat di Karimunjawa, tetapi malah dijerat dengan UU ITE.
Menyikapi kondisi tersebut, Setyawan berpendapat, bahwa kawasan tambak udang itu di luar kawasan taman nasional, sehingga di luar kewenangannya untuk menindak.
Diakui dia, pada pengelolaan kawasan mangrove juga masih ada problem regulasi, terutama mangrove pada areal penggunaan lain (APL) dan mangrove yang berada di kawasan di luar hutan.
Pemerhati Lingkungan, Arimbi Heroepoetri berpendapat kasus-kasus hukum terkait lingkungan yang muncul saat ini merupakan puncak gunung es.
Menurut Arimbi kasus hukum terkait lingkungan kerap terjadi disebabkan tidak adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatannya.
Terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat adat di sekitar hutan misalnya, tambah dia, menggunakan alasan untuk melindungi hutan dari proses perusakan.
Diakui Arimbi ada masalah gap dalam pemahaman hukum antara pemerintah dan masyarakat, sehingga muncul berbagai permasalahan hukum saat ini.
Direktur Pengundangan, Penerjemahan, dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan, KemenkumHam RI, Alpius Sarumaha berpendapat bila UU ITE masih dinilai belum memenuhi kebutuhan masyarakat, perlu segera dilakukan penyempurnaannya.
Menurut Alpius, solusi untuk penyempurnaan bisa mulai dengan menggali substansi apa yang kurang dengan melibatkan para pemangku kepentingan.
Substansi yang dihasilkan, jelasnya, bisa ditambahkan dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan presiden, maupun peraturan turunan lainnya.
Kementerian Hukum dan HAM, tegas Alpius, akan membantu memberi solusi melalui tahapan-tahapan legislasi yang ada dalam proses penyempurnaan kebijakan tersebut.
Denny