
RAMADAN selalu membawa cahaya harapan dan kehangatan. Namun, tahun ini terasa berbeda. Sosok yang selama ini menjadi poros kebersamaan di bulan suci telah tiada. Ibu, yang setiap Ramadan hadir dengan senyum dan kelembutan, kini hanya tinggal dalam kenangan. Kehangatan yang dulu memenuhi rumah berganti dengan keheningan yang tak terelakkan.
Beberapa tahun terakhir, Ramadan kami diwarnai dengan kesabaran dan ketulusan. Sejak ibu jatuh sakit, setiap detik bersamanya menjadi perjalanan penuh makna—doa yang tak henti dipanjatkan, harapan yang terus digantungkan di langit takdir. Namun, seiring waktu, tubuhnya yang dulu kuat semakin melemah, hingga akhirnya ia berpulang. Sekitar empat bulan sebelum Ramadan ini tiba, kami kehilangan cahaya yang selama ini menerangi rumah dan hati kami.
Dalam perjalanan panjang merawat ibu, ayah menjadi sosok yang begitu tabah. Dengan kesabaran dan kasih sayangnya, ia merawat ibu tanpa lelah, memastikan kebutuhannya terpenuhi, dan selalu ada di sisinya. Aku dan kedua adikku juga berusaha memberikan yang terbaik, bergantian mendampingi ibu dalam hari-hari sulitnya. Kebersamaan itu kini menjadi kenangan yang begitu berarti, pengingat akan cinta yang tak tergantikan.
Kini, Ramadan hadir dengan kesunyian yang berbeda. Tak lagi ada rutinitas mendengar ibu bercerita di sela-sela sahur, atau melihatnya tersenyum saat kami berkumpul menjelang berbuka. Kehilangan ini begitu nyata, begitu mencengkeram hati. Namun, di tengah keheningan, ada satu hal yang tetap terasa: kasih sayang ibu tidak pernah benar-benar pergi. Ia tetap hadir dalam doa, dalam nilai-nilai kehidupan yang ia wariskan, dalam kebaikan yang selalu ia ajarkan.
Ramadan kali ini menjadi perjalanan hati yang berbeda. Jika dulu Ramadan adalah tentang kebersamaan, kini ia menjadi ruang untuk merenung, meresapi setiap jejak yang ibu tinggalkan, dan menjaga warisan cinta yang telah ia tanamkan. Kami belajar bahwa kehilangan bukanlah akhir, melainkan awal untuk menemukan makna baru—melalui doa yang terus mengalir, melalui kebaikan yang harus kami teruskan, dan melalui keikhlasan untuk melangkah dengan kenangan yang tak akan pernah pudar.
Meski ibu tak lagi ada secara fisik, Ramadan tetap membawa cahaya. Ia menjadi waktu untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, merangkul keluarga yang masih ada, dan mengenang ibu dengan cara terbaik: meneruskan kebaikan dan kasih sayangnya dalam setiap langkah. Karena sejatinya, cinta seorang ibu tidak pernah benar-benar hilang. Ia tetap hidup, mengalir dalam setiap detak rindu, dalam setiap doa yang terlantun, dalam kehangatan kenangan yang akan selalu abadi.