Oleh ; Wandi Barboy
Wartawan Lampung Post
NAMA Pramoedya Ananta Toer (PAT) sungguh tak lekang oleh waktu. Pram, sapaan akrabnya, seakan terus hidup dan memberikan pengaruh yang tidak pernah habis oleh zaman yang terus bergerak.
Koran Kompas memberikan tempat yang khusus di halaman pertama sepanjang perayaan Festival Seabad Pram di Blora dan Jakarta. Kini, Majalah Tempo edisi 23 Februari 2025 turut memberikan rubrik spesial tentang sosok sastrawan yang karyanya menembus dunia internasional.
Majalah Tempo memberikan rubrik khusus dengan nama “Iqra”. “Iqra” bisa berarti bacalah. Pramoedya sering menekankan bahwa setiap karya itu mestinya dibaca, bukan dibakar. Di masa rezim Orde Baru, karya Pram selalu dianggap kontroversial dengan segala dalihnya dari para penguasa kala itu. Anak-anak rohani Pram – Istilah Pram untuk buku/karya yang terbit- kerap kali mengalami sensor dari penguasa dan pada akhirnya dibakar. Begitulah.
Jurnalis Majalah Tempo melakukan riset mendalam dan menemukan fakta yang tersaji dengan memaparkan Pram dalam angka (Hlm17-18). Yang mencengangkan, 30 judul karya ditulis Pramoedya kala berusia 31 tahun pada 1956. Tidak hanya itu, karya Pramoedya juga sudah diterjemahkan lebih dari 42 bahasa di seluruh dunia. Angka satu dekade atau 10 tahun merupakan masa pembuangannya di pulau Buru. Sudah barang tentu sejumlah penghargaannya di dalam dan luar negeri. Tempo mencatat Pramoedya menerima 16 penghargaan semasa hidup.
Pada rubrik Iqra, Tempo mengangkat judul “Pengaruh Pram setelah 100 tahun (Hlm.54).” Indonesianis Max Lane yang pertama kali menerjemahkan karya Pramoedya ke dalam bahasa Inggris juga memberikan kuliah umum di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Inspirasi
Tulisan-tulisan Pramoedya, menurut Max Lane, telah menjadi inspirasi perlawanan di masa Orde Baru. Karyanya menjadi bahan bacaan untuk mereka yang menentang korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pada masa Orde Baru. Tulisan Pramoedya selalu menganjurkan untuk berpihak kepada kemanusiaan, keadilan, dan keindahan.
Lane juga menyoroti kedekatan Pramoedya dengan aktivis-aktivis muda saat rezim Orde Baru berkuasa. Menurutnya, banyak aktivis muda kala itu terpengaruh dan mereguk inspirasi dari karya-karya Pramoedya. Sedangkan sekarang Lane memberikan kesan tokoh muda memang terinspirasi dengan Pramoedya. Tapi, setelah mereka mengagumi sosok dan karya Pram, mereka tidak tahu harus melakukan apa selanjutnya. Begitulah.
Terakhir, Lane menyebut sosok Minke itu embrio manusia Indonesia. Sosok Minke dalam karya tetralogi pulau Buru merupakan sosok Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. (R.M.T.A.S). Tempo juga menuliskan judul Tetralogi yang Mengguncang Orde Baru. Tetralogi adalah empat karya Pramoedya yang meledak (viral) selama pembuangan di pulau Buru. Berurutan yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Terakhir, Tempo menuliskan judul Pemecah Kesunyian Kritik Kolonial.
Sampai sekarang para penggemar Pramoedya di seluruh Indonesia terus merefleksikan diri dan mengkhidmati karya Pramoedya dengan berbagai kegiatan. Pengaruh Pramoedya kian terasa menyala di tengah para pembacanya.