
Pringsewu (Lampost.co) — SAAT sebagian besar orang masih memeluk mimpi di hangatnya selimut subuh, seorang pria kurus dengan kaus lusuhnya sudah berjalan ke bukit. Langkahnya cepat, sesekali menyeka peluh yang belum sempat muncul sempurna. Di tangannya, sebilah cangkul. Di bahunya, jeriken kosong. Ia bukan petani besar, apalagi pemilik lahan luas. Tapi semangatnya—barangkali bisa menghidupi seluruh kebun cabainya. Beginilah wujud nyata dari perjuangan tak kenal lelah.
Namanya Mas Madot. Aku tak tahu nama lengkapnya, hanya tahu ia pria berusia 38 tahun yang tinggal dan bekerja di Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung. Kami baru kenal beberapa hari, tapi kisah hidupnya menancap dalam di benakku. Mas Madot adalah pekerja keras dalam arti sesungguh-sungguhnya. Bukan hanya karena ia mengerjakan dua pekerjaan berat dalam sehari, tapi karena dalam setiap tetes keringatnya, ada cinta yang ia titipkan untuk dua anaknya yang jauh di Bandung.
Setiap pagi, sebelum matahari naik tinggi, Mas Madot sudah berada di kebun. Ia biasa ke sana naik motor. Tapi aku pernah melihatnya pulang berjalan kaki, entah karena motor sedang rusak, atau karena hal lainnya. Jika naik motor, jaraknya mungkin lima sampai 7 menit. Tapi kalau berjalan kaki—di bawah terik atau di tengah gelap malam—aku tak bisa membayangkan.
Baca juga: Cahaya yang Tetap Menyala
Dua Dunia, Satu Tujuan
Di kebun itu, ia mencangkul, menanam, atau menyemprotkan pupuk dan pestisida pada tanaman cabainya. Sebelum pukul tujuh pagi, ia harus sudah bersiap untuk pekerjaan keduanya: menjadi kuli bangunan. Dari pagi hingga sore sekitar pukul setengah lima, ia mengaduk pasir, semen, dan air—dengan tenaga sendiri—lalu membawakan adukan itu ke tukang yang sedang memasang pondasi atau membangun dinding. Tubuhnya kecil, tapi kuat seperti baja. Tidak ada keluhan, tidak ada jeda untuk mengeluh. Hanya diam dan kerja.
Selesai dari pekerjaan bangunan, ia langsung pulang. Bukan untuk istirahat melainkan mengambil peralatan berkebun. Ia kembali ke kebun, ke cabai-cabai yang ia tanam dengan harapan dan sisa modal. Ia menyemprot, membersihkan rumput, atau sekadar memastikan semuanya masih tumbuh. Kalau hujan tak turun berhari-hari, Mas Madot pulang larut malam, karena harus menyiram semua tanamannya. Ia menyiram dengan cara paling sederhana sekaligus paling melelahkan: memanggul jeriken berisi air dari aliran sawah, lalu naik ke bukit. Berkali-kali. Sendirian.
Baca juga: Menjaga SOP, Merawat Nurani
Keterbatasan tak membuatnya gentar. Modalnya sedikit, jadi ia membeli pupuk dan obat tanaman secara bertahap. Waktunya pun sempit, jadi ia menanam cabai sedikit demi sedikit. Namun semangatnya—itu tak pernah ia cicil. Selalu utuh. Sebuah perjuangan tak kenal lelah yang ia jalani setiap hari.
Jauh dari Anak, Dekat dengan Harapan
Menurut ayah Mas Madot, upah kerja di Bandung, terutama di kebun, hanya sekitar 35 ribu sehari. Dengan penghasilan sebesar itu, rasanya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak-anak. Karena itulah Mas Madot memutuskan untuk kembali ke Pringsewu, tempat ia bekerja keras sebagai kuli bangunan dan bertani cabai, meskipun harus jauh dari keluarganya.
Anak perempuannya kini kelas 2 SMP, anak laki-lakinya masih SD. Mereka tinggal bersama ibunya di Bandung. Mas Madot memilih ke Pringsewu demi bisa mengirimkan uang yang cukup. Di Pringsewu, ia tinggal bersama kedua orang tuanya. Ayahnya adalah kepala tukang yang sering memborong pekerjaan pembangunan rumah, sedangkan ibunya seorang ibu rumah tangga. Dari merekalah barangkali Mas Madot mewarisi ketangguhan dan etos kerja keras.
Aku melihat Mas Madot, dan rasanya malu sendiri. Betapa sering kita mengeluh atas hidup yang terasa berat, padahal belum seujung kuku perjuangan pria ini. Ia tak punya waktu untuk memanjakan diri, tak punya tempat untuk bersandar selain pada tekadnya sendiri. Hidup memang belum lunak padanya, tapi ia juga belum menyerah dalam perjuangan tak kenal lelah.
Cinta dalam Diam
Mas Madot tidak tahu apa itu kesehatan mental, tidak membaca buku motivasi. Tapi dari cara ia mengaduk semen dan memanggul jeriken, aku belajar satu hal: jika kau punya alasan yang cukup kuat, kau akan tetap melangkah, meski lututmu gemetar.
Ia bukan pahlawan berseragam, bukan tokoh dalam buku pelajaran. Tapi kisahnya adalah pelajaran. Tentang ketekunan dan pengorbanan. Tentang cinta seorang ayah yang tak ditunjukkan lewat kata-kata, melainkan lewat jeriken air yang dipanggul naik-turun bukit demi masa depan anak-anaknya.
Di balik tubuh kurus itu, ada jiwa besar yang barangkali lebih kuat dari beton yang setiap hari ia aduk. Mas Madot mungkin tak viral, tapi bagi saya, ia adalah bukti nyata bahwa perjuangan tak kenal lelah, cinta dan kerja keras tak selalu butuh panggung. Semoga suatu saat nanti, Mas Madot dapat segera berkumpul kembali dengan istri dan anak-anaknya, menikmati hasil jerih payahnya yang penuh pengorbanan.








