Jakarta (Lampost.co) – Hujan deras selama beberapa hari sering terjadi di dalam kehidupan saat ini. Namun, hal itu ternyata belum seberapa daripada peristiwa hujan lebat yang berlangsung selama dua juta tahun tanpa henti di Bumi ini.
Peristiwa itu terjadi sekitar 232 juta tahun lalu, pada Zaman Carnian, masa Bumi tengah mengalami perubahan iklim ekstrem dan bencana alam berskala besar.
Menurut penelitian, Bumi saat itu berada dalam masa pertemuan benua besar, yaitu Pangaea. Hal itu membuat suhu laut meningkat drastis hingga menyerupai “sup panas”, menciptakan kondisi atmosfer kaya akan uap air. Sehingga, memicu terjadinya hujan deras yang tak kunjung berhenti.
Para ilmuwan percaya serangkaian letusan gunung berapi besar di Wrangellia Tpercay, wilayah yang kini berada di sepanjang pantai Alaska dan British Columbia menjadi salah satu pemicu utama hujan abadi itu.
Letusan itu menyuntikkan sejumlah besar gas rumah kaca, seperti karbon dioksida, ke atmosfer. Sehingga, memperparah pemanasan global dan mengganggu keseimbangan uap air di stratosfer.
Paul Wignall, peneliti paleoenvironment, mengatakan kondisi iklim saat itu rentan terhadap hujan akibat benua-benua yang terkonsolidasi dalam Pangaea dan letusan besar memperburuk situasi tersebut.
“Letusan Wrangellia menyebabkan lonjakan pemanasan global yang besar, dengan dampak langsung pada atmosfer Bumi,” tambah ahli geosains, Jacopo Dal Corso.
Dampak Hujan Terus-Menerus
Hujan lebat yang berlangsung selama dua juta tahun di Bumi itu tidak hanya menyebabkan kerusakan iklim, tetapi juga menimbulkan kepunahan massal di lautan.
Spesies laut seperti amonoid, konodon, dan krinoid mengalami penurunan populasi secara drastis. Namun, di daratan, peristiwa itu justru membuka jalan bagi kemunculan dan penyebaran dinosaurus.
Menurut penelitian yang Journal of the Geological Society terbitkan, kepunahan besar-besaran tanaman dan herbivora utama membuat dinosaurus mulai mendominasi ekosistem.
Mereka dengan cepat berkembang dalam hal keanekaragaman, dampak ekologi, dan penyebaran global hingga ke semua benua.
Bukti pertama dari peristiwa hujan lebat Carnian itu pada 1980-an dari ahli geologi Alastair Ruffell dan Michael Simms. Mereka mengidentifikasi perubahan geologis di batuan merah di Bukit Lipe, Somerset, Inggris. Menunjukkan peralihan dari kondisi kekeringan parah menjadi sangat basah.
Meski pada awalnya penemuan mereka tidak masuk akal ke beberapa akademisi senior, bukti-bukti dari wilayah lain, seperti Jerman, Amerika Serikat, dan Himalaya, mendukung teori mereka.
Kini, penelitian mengenai peristiwa hujan lebat Carnian semakin mendapat perhatian, dengan berbagai konferensi ilmiah untuk mempelajari fenomena itu.