Jakarta (Lampost.co) – Perubahan suhu Bumi selama hampir 500 juta tahun terungkap melalui penemuan fosil daun palem Sabalites sp di Alaska. Fosil itu kini tersimpan di Museum Sejarah Alam Nasional Smithsonian, memberi petunjuk tentang suhu permukaan rata-rata di Bumi selama jutaan tahun.
Dulu, tanaman seperti palem dapat tumbuh di wilayah yang kini terlalu dingin untuk mendukung kehidupan tanaman tersebut.
Sebuah studi terbaru yang dipublikasikan Science pekan lalu memberikan wawasan mendalam tentang suhu Bumi yang berubah selama 485 juta tahun terakhir. Studi itu juga mengungkapkan kapan Bumi mengalami periode panas dan dingin.
Prediksi Iklim di Masa Depan
Saat ini, planet tempat hidup manusia itu menghadapi pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca sehingga menyebabkan perubahan iklim. Memahami pola perubahan suhu di masa lalu, membuat para ilmuwan berharap dapat memprediksi dampak perubahan iklim di masa depan.
Berdasarkan penelitian pada 2018 sebagai bagian dari pameran “Deep Time” di Museum Sejarah Alam Nasional Smithsonian itu untuk menyusun kurva suhu yang membantu pengunjung memahami perubahan iklim selama era Fanerozoikum. Periode tersebut adalah 539 juta tahun terakhir yang mencakup kelimpahan kehidupan hewan dan tumbuhan di Bumi.
Ahli paleontologi Smithsonian, Scott Wing dan Brian Huber, mengadakan lokakarya ilmuwan iklim untuk berbagi pengetahuan tentang sejarah suhu Bumi. Proyek itu melibatkan lebih dari 150.000 estimasi suhu kuno dari berbagai sumber
Termasuk isotop oksigen, anatomi daun fosil, dan data foraminifera, organisme bersel satu purba yang memberi petunjuk tentang iklim masa lalu.
Untuk memperkuat temuan itu, tim peneliti di Universitas Bristol membuat lebih dari 850 simulasi model iklim yang mencakup periode Fanerozoikum.
Hal itu dengan menggabungkan data suhu prasejarah dan model iklim. Lalu menciptakan gambaran komprehensif tentang fluktuasi suhu Bumi selama 485 juta tahun terakhir.
Hasil penelitian itu menunjukkan suhu Bumi telah berayun antara periode yang sangat panas dan sangat dingin. Suhu rata-rata permukaan Bumi berkisar antara 11 derajat hingga 36 derajat Celsius. Sebagian besar waktu, Bumi berada dalam kondisi yang lebih hangat dari pada sekarang. Suhu yang tinggi tersebut erat kaitannya dengan konsentrasi karbondioksida (CO2) di atmosfer.
Menurut para peneliti, lonjakan CO2 yang signifikan di atmosfer kerap memicu perubahan iklim dramatis. Terutama di sekitar peristiwa kepunahan massal akibat letusan gunung berapi besar.
Karbon dioksida yang terlepas dalam jumlah besar menyebabkan pemanasan global yang berdampak pada kehidupan di Bumi.
Paleoklimatolog Benjamin Mills dari Universitas Leeds, menekankan pentingnya memahami sensitivitas iklim Bumi terhadap karbon dioksida. Dia menyatakan penelitian itu membantu melihat perubahan CO2 dapat memengaruhi iklim dan biodiversitas di masa depan.
Peneliti utama, Emily Judd dari Universitas Arizona, mengungkapkan Bumi berhasil bertahan dari perubahan suhu yang dramatis. Namun, hal yang sama tidak dapat menjamin bagi kehidupan manusia modern.
“Kemampuan Bumi untuk bertahan terhadap perubahan iklim tidak selalu menjamin masyarakat manusia bisa bertahan dengan baik,” kata Judd.
Penelitian itu menjadi pengingat penting terkait perubahan iklim akibat ulah manusia. Terutama melalui peningkatan emisi gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan konsekuensi besar bagi kehidupan di Bumi.