Jakarta (Lampost.co) – Para ilmuan mencoba mengungkap teori lubang putih sebagai solusi kunci untuk menyelesaikan misteri lubang hitam. Teori yang berkembang sejak awal 1990-an itu dikenal sebagai Loop Quantum Gravity (LQG).
Sejak penemuan Stephen Hawking dan Jacob Bekenstein terkait lubang hitam tidak diam dan memancarkan radiasi pada 1970-an oleh, para ilmuwan berhadapan pada pertanyaan besar tentang paradoks informasi.
Dalam teori relativitas umum Albert Einstein, lubang hitam adalah daerah di mana gravitasi begitu kuat sehingga tidak ada yang bisa lolos, bahkan cahaya.
Teori itu juga menyatakan di pusat lubang hitam terdapat singularitas, yaitu titik di mana kerapatan materi menjadi tidak terhingga yang tidak bisa hukum fisika jelaskan.
Namun, teori LQG menawarkan pandangan berbeda. Dalam teori itu, ruang dan waktu bukanlah permukaan halus, melainkan terdiri dari unit-unit kecil. Lubang hitam tidak berakhir pada singularitas, tetapi pada skala terkecil yang disebut Skala Planck.
Alih-alih memusnahkan informasi, LQG memprediksi lubang hitam memiliki pintu keluar, yaitu lubang putih, yang memungkinkan materi dan informasi keluar kembali.
Jika lubang hitam sebagai penghisap debu yang menarik segala sesuatu, maka lubang putih adalah blower yang melepaskan kembali semua materi yang disedot. Hal itu berarti informasi yang hilang dalam pusaran hitam dapat keluar melalui pusaran putih menyelesaikan paradoks informasi.
Para ilmuwan berspekulasi kedua lubang itu terhubung melalui terowongan sebagai lubang cacing atau wormhole. Hal itu memungkinkan siklus kosmik yang berulang dengan lubang hitam menyerap materi dan lubang putih mengeluarkannya kembali.
Big Bounce dan Lubang Putih
Teori LQG juga memperkenalkan konsep Big Bounce sebagai alternatif dari Teori Big Bang. Alih-alih alam semesta yang bermula dari singularitas, teori itu menyatakan alam semesta mengalami pemantulan mahadahsyat setelah menyusut dari alam semesta sebelumnya.
Proses itu mirip lubang hitam yang bisa berubah menjadi lubang putih, mencerminkan siklus berulang di alam semesta.
Pada 2006, Neil Gehrels Swift Observatory mengamati sebuah peristiwa yang disebut GRB 060614, ledakan sinar gamma yang terdeteksi di konstelasi Indus.
Beberapa ilmuwan berpendapat fenomena itu bisa menjadi bukti pertama keberadaan lubang putih. Namun, itu masih menjadi hipotesis yang memerlukan lebih banyak bukti untuk dikonfirmasi.
Sebagian besar ilmuwan saat itu masih percaya ledakan sinar gamma seperti GRB 060614 akibat runtuhnya materi di sekitar lubang hitam. Meski ada potensi lubang putih tetap terbuka.
Meski teori lubang putih menawarkan jawaban atas paradoks lubang hitam hingga saat ini belum ada bukti langsung tentang keberadaannya.
Deteksi lubang hitam berhasil melalui alat seperti Laser Interferometer Gravitational-wave Observatories (LIGO) dan teleskop Event Horizon (EHT). Namun, mengamati si putih jauh lebih sulit karena sifatnya yang berbeda dengan yang hitam.
Satu tantangan besar dalam mendeteksi lubang putih adalah waktu untuk terbentuknya. Proses evaporasi lubang hitam dan transformasinya menjadi lubang putih memakan waktu yang sangat lama sekitar 10^67 tahun waktu yang jauh lebih lama dari pada usia alam semesta yang saat itu sekitar 13,8 miliar tahun.
Masa Depan Penelitian Lubang Putih
Penelitian lebih lanjut perlu untuk menguji kebenaran teori lubang putih ini. Teori Loop Quantum Gravity memang memberikan harapan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang belum terjawab oleh teori lubang hitam klasik.
Meski begitu, para fisikawan masih perlu melakukan banyak observasi astrofisika dan pengembangan teori agar bisa menemukan bukti yang lebih kuat tentang eksistensi lubang putih.
Seperti lubang hitam yang pada awalnya ragu sejarah bisa saja terulang. Bisa saja suatu saat nanti, lubang putih akan terbukti ada dan membantu kita memahami lebih banyak tentang alam semesta ini.