
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2025
Bahasa bukan hanya rangkaian tutur kata yang keluar dari mulut seseorang. Di balik setiap kalimat yang terucapkan, terdapat proses mental, emosional, dan sosial yang bekerja secara cepat dan kompleks. Hal ini menjadi pokok kajian dalam mata kuliah Psikolinguistik yang saat ini banyak menarik perhatian mahasiswa linguistik dan pendidikan bahasa.
Bahasa sebagai cermin dari kondisi batin dan cara berpikir manusia. Ketika seseorang berbicara, ia tidak hanya menyusun struktur kalimat, tetapi juga mempertimbangkan niat, emosi, hubungan sosial, dan nilai budaya. Fenomena inilah yang membuat studi psikolinguistik memiliki kontribusi besar dalam memahami bagaimana bahasa bekerja di dalam pikiran dan menjadi bahan dalam interaksi sosial. Ujaran yang terdengar sederhana sesungguhnya merupakan hasil kerja otak yang sangat cepat dan tersusun.
Setiap kali seseorang hendak berbicara, ia terlebih dahulu memutuskan apa yang ingin ia sampaikan, bagaimana ia harus mengatakannya, dan kepada siapa ia bicara.
Tahapan itu melibatkan penentuan niat komunikatif, pengaturan emosi, pemilihan kata, penyesuaian tingkat kesopanan, perencanaan struktur kalimat, serta penyesuaian intonasi dan nada suara. Semua komponen ini menunjukkan bahwa berbahasa adalah hasil kolaborasi antara pikiran, perasaan, dan konteks sosial.
Kajian pragmatik menunjukkan bahwa berbicara bukan sekadar menyusun kata, tetapi juga melakukan tindakan tertentu. Saat seseorang mengucapkan “Maaf,” “Tolong,”, “Saya izin,”, dan “Terima kasih,” ia sebenarnya sedang melakukan tindakan sosial dan membangun relasi dengan orang lain. Dalam psikolinguistik, tindakan ini dipahami sebagai integrasi antara proses mental dan tuntutan sosial. Bahasa yang sopan itu tidak otomatis muncul, ada proses mental yang mengaitkan bahasa dengan nilai budaya dan status sosial lawan bicara.
Indonesia yang kaya budaya menghadirkan variasi menarik dalam penggunaan bahasa. Misalnya:
Budaya Bugis Makassar menjunjung tinggi konsep siri’ (harga diri), sehingga kesantunan berbahasa menjadi prinsip utama dalam setiap percakapan. Sedangkan budaya Minangkabau menggunakan banyak kiasan dan peribahasa untuk menjaga kerukunan dan menghindari komunikasi yang terlalu to the point. Perbedaan budaya ini menunjukkan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari konteks masyarakat. Apa yang selama ini terlihat sopan dalam satu budaya bisa dianggap terlalu bebas di budaya lain. Memahami keanekaragaman budaya membantu kita bersikap lebih bijak dalam berbahasa.
Ketika belajar psikolinguistik, kita akan sadar bahwa bahasa selalu membawa nilai sosial. Kita harus peka, apalagi di era global sekarang. Kemampuan berbahasa tidak hanya soal kecerdasan linguistik, tetapi juga tentang empati. Seseorang yang memahami psikolinguistik akan lebih peka membaca situasi dan perasaan lawan bicara. Sementara pemahaman pragmatik membuat seseorang lebih berhati-hati dalam memilih kata agar tidak menyinggung budaya dan nilai sosial orang lain. Berbahasa itu seni. Seni untuk berpikir, dan seni untuk menjalin hubungan sosial.
Penggabungan antara psikolinguistik dan pragmatik memberikan pandangan bahwa bahasa adalah jembatan antara pikiran manusia dan dunia sosialnya. Berbicara tidak hanya mencerminkan apa yang dipikirkan seseorang, tetapi juga bagaimana ia melihat orang lain, memahami norma, dan menyesuaikan diri dengan budaya.
Bahasa adalah cermin jiwa, wadah emosi, dan alat membangun hubungan antarmanusia. Memahami psikolinguistik berarti memahami diri sendiri. Memahami pragmatik berarti memahami orang lain. Dan memahami keduanya berarti membangun komunikasi yang lebih bijak, harmonis, dan p
enuh empati.








