
KEUANGAN daerah di banyak wilayah Indonesia tengah menghadapi tekanan berat. Defisit riil (kekurangan kas sebenarnya setelah memperhitungkan semua kewajiban) yang terus membengkak. Hal itu memaksa pemerintah daerah (pemda) mengambil keputusan sulit yaitu melakukan efisiensi atau berisiko menghadapi krisis fiskal yang lebih dalam. Namun, di tengah semangat efisiensi, muncul pertanyaan mendasar: apakah efisiensi ini benar-benar menyehatkan keuangan daerah atau justru menghambat layanan publik?
Defisit riil yang Tak Terbendung
Data menunjukkan bahwa beberapa daerah di Lampung mengalami lonjakan defisit riil yang signifikan. Pemprov Lampung, misalnya, mencatat defisit riil dari Rp273,5 miliar pada 2020 menjadi Rp1,41 triliun pada 2023. Hal serupa terjadi di Kabupaten Pesawaran, Lampung Utara, dan Tulang Bawang Barat. Ketergantungan daerah terhadap transfer dana pusat semakin memperburuk kondisi fiskal, membuat banyak pemda sulit membiayai program prioritas tanpa menambah utang atau memangkas anggaran secara drastis.
Sayangnya, strategi efisiensi yang diterapkan dalam beberapa kasus justru mengorbankan sektor yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Pemangkasan belanja sering kali menyasar layanan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan, alih-alih menekan anggaran birokrasi yang cenderung boros.
Menata Kembali Keuangan Daerah
Instruksi presiden (Inpres) No.1/2025 dan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.29/2025 terkait efisiensi anggaran tahun 2025 seharusnya dipandang sebagai peringatan bagi daerah untuk menata kembali postur keuangan mereka. Namun, dalam praktiknya, efisiensi ini lebih banyak menyasar belanja modal dan layanan publik daripada menekan pengeluaran birokrasi yang tidak produktif.
Irene Rubin dalam The Politics of Public Budgeting (1990) juga menyatakan bahwa keputusan anggaran sering dipengaruhi oleh kepentingan politik. Di banyak daerah, belanja birokrasi masih lebih dominan dibandingkan program yang berdampak langsung pada masyarakat. Belanja pegawai yang melampaui 40% dari total anggaran sering kali menghambat pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan ekonomi. Perjalanan dinas yang berlebihan juga menjadi indikasi penganggaran yang tidak efisien, meskipun layanan dasar masyarakat masih tertinggal. Hal-hal ini menunjukkan bahwa persoalan anggaran daerah tidak lepas dari tarik-menarik politik, bukan sekadar persoalan teknis fiskal semata.
Jika efisiensi hanya dilakukan dengan memangkas anggaran tanpa perbaikan tata kelola, maka yang terjadi bukan penghematan, melainkan kontraksi ekonomi di daerah. Padahal, seharusnya efisiensi difokuskan pada belanja birokrasi yang kurang produktif, seperti perjalanan dinas, studi banding, atau pengadaan yang tidak mendesak.
Langkah Strategis untuk Keuangan Daerah yang Sehat
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan pemda agar efisiensi tetap berdampak positif bagi keuangan daerah adalah pertama, meningkatkan pendapatan daerah dengan optimalisasi pendapatan asli daerah melalui retribusi, pajak yang lebih adil, serta pemanfaatan aset daerah secara produktif. Namun, langkah ini berisiko membebani masyarakat dengan kenaikan pajak yang memicu gejolak serta menurunnya kepatuhan membayar pajak. Contohnya kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan yang drastis di beberapa daerah telah menimbulkan protes masyarakat dan mendorong revisi kebijakan.
Kedua, memangkas belanja daerah secara selektif dengan mengurangi belanja birokrasi yang tidak produktif. Namun, pemangkasan ini bisa mengganggu layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan, sebagaimana yang terjadi di beberapa daerah yang terpaksa mengurangi layanan puskesmas dan sekolah akibat pemangkasan belanja operasional. Disisi lain, tanpa pemangkasan maka defisit riil justru kan semakin membesar dan berpotensi mengarah pada gagal bayar yang merugikan layanan publik.
Ketiga, mencari sumber pendanaan baru agar pembangunan tidak sepenuhnya bergantung pada transfer dana pusat. Kemitraan publik-swasta atau Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha, investasi swasta, dan insentif bagi investor dapat menjadi solusi strategis. Daerah dengan potensi sumber daya alam, pariwisata, atau industri perlu aktif menarik investor dengan memberikan insentif pajak, kemudahan perizinan, serta infrastruktur yang mendukung dunia usaha. Namun, ketergantungan pada swasta harus diimbangi dengan regulasi yang ketat untuk menghindari eksploitasi sumber daya yang tidak terkendali. Untuk itu, pemda harus memastikan adanya audit independen serta transparansi dalam setiap perjanjian investasi.
Momentum Perubahan
Jika pengelolaan fiskal tidak segera dibenahi, defisit riil akan semakin besar dan utang jangka pendek terus meningkat. Pada akhirnya, masyarakat akan mengalami pemangkasan layanan publik atau kenaikan pajak daerah yang lebih tinggi.
Kebijakan pemangkasan anggaran dari pemerintah pusat memang terasa seperti “pil pahit”, tetapi pemda harus melihatnya sebagai momentum untuk menyehatkan kondisi keuangan dan memulai menata kembali pengelolaan keuangan daerah yang lebih transparan, efisien, dan akuntabel. Namun, jika pemda hanya memangkas anggaran tanpa strategi yang jelas, maka efisiensi ini akan menjadi jebakan yang justru memperburuk kondisi fiskal daerah. Pemda harus cermat dalam menentukan prioritas agar efisiensi benar-benar membawa manfaat, bukan sekadar pemangkasan angka dalam anggaran mereka.