
Sejarawan UIN Raden Intan Lampung
Proses Islamisasi di Nusantara merupakan sebuah dinamika sejarah panjang yang berlangsung seiring dengan interaksi sosial, budaya, politik, dan ekonomi, terutama melalui jaringan perdagangan maritim. Salah satu wilayah yang mengalami proses Islamisasi secara intens melalui jalur perdagangan dan ekspansi kekuasaan adalah Lampung. Sebagai daerah penghasil lada terbesar di Pulau Sumatera, Lampung menjadi titik strategis dalam perdagangan internasional pada abad XVII–XVIII.
Ketertarikan Kesultanan Banten terhadap Lampung tidak hanya didorong oleh nilai ekonomis dari lada, tetapi juga oleh ambisi untuk memperluas pengaruh politik dan agama Islam di Sumatera bagian selatan. Hubungan Lampung dan Banten telah terjalin sejak abad XV, ketika Sunan Gunung Djati menjalin persekutuan dengan Keratuan Pugung melalui pernikahan politik dengan putri Sinar Alam (baca juga Lampost 11/03/2025). Seiring berjalannya waktu, pengaruh Banten di Lampung semakin menguat melalui kekuasaan ekonomi atas komoditi lada, dan diperkuat dengan bukti-bukti peninggalan sejarah berupa prasasti bertuliskan huruf Pegon. Esai ini akan membahas bagaimana perdagangan lada menjadi sarana utama dalam proses Islamisasi Lampung oleh Banten, serta bagaimana kekuasaan politik Banten di wilayah Lampung membentuk landasan penyebaran agama Islam di daerah tersebut.
Perdagangan Lada sebagai Jalur Islamisasi
Rempah-rempah terutama lada merupakan komoditi perdagangan yang menjadi daya tarik bagi pedagang-pedagang yang berasal dari Eropa pada abad XVI–XVII. Tidak hanya pedagang Eropa yang tertarik, bangsa Cina, khususnya kalangan istana, juga membutuhkan lada dalam jumlah besar. Pentingnya komoditi lada dalam perdagangan global saat itu menimbulkan pergerakan dari para penguasa lokal Nusantara seperti Aceh, Banten, Pantai Barat Sumatra, dan Banjarmasin untuk menguasai dan meraup keuntungan besar dari komoditi ini. Lampung, sebagai wilayah dengan tanah subur dan iklim tropis yang mendukung, dikenal sebagai daerah penghasil lada terbesar di Pulau Sumatera. Bahkan, menurut sejarawan Ricklefs, Lampung merupakan eksportir utama lada Nusantara. Catatan Tome Pires, seorang penjelajah Portugis abad XVI, menyebut dua wilayah penghasil lada utama di Lampung, yakni Sekampung dan Tulang Bawang.
Lada dari Lampung tidak hanya memenuhi kebutuhan lokal, tetapi juga menjadi komoditi utama dalam perdagangan antarpulau dan antarbangsa, sehingga Lampung memiliki koneksi dagang yang luas (Saptono, Widyastuti, Nuralia, & Aryanto, 2020).
Kejatuhan Malaka ke tangan Portugis pada 1511 menyebabkan perubahan jalur perdagangan Asia Tenggara. Jalur perdagangan dari Laut Jawa ke Utara melewati Selat Karimata tergeser menjadi melewati Selat Sunda, menjadikan Banten sebagai titik strategis dalam perdagangan maritim (Mulianti, Imron, & Wakidi, 2013). Aktivitas ekspor-impor di pelabuhan Banten berkembang pesat karena didukung oleh empat faktor utama. Pertama, letak geografis Banten yang strategis di ujung barat Pulau Jawa, berhadapan langsung dengan Selat Sunda. Kedua, pemindahan pusat pemerintahan Banten dari Banten Girang ke Surosowan yang dekat Teluk Banten, dengan fokus pada pengembangan pelabuhan utama. Ketiga, kualitas lada tinggi dari Banten dan daerah kekuasaannya, termasuk Lampung. Keempat, terbentuknya pemukiman pedagang asing dari berbagai bangsa seperti Cina, Inggris, Belanda, dan Portugis di Banten, menjadikan pelabuhan ini pusat perdagangan internasional.
Dominasi Ekonomi dan Ekspansi Kekuasaan Banten di Lampung
Pada abad XVI, Banten menjadi produsen lada utama di Asia Tenggara, menjalin kesepakatan ekspor lada ke India sebanyak 1000 ton, dan ke Cina sebanyak 3000 ton per tahun. Namun, permintaan lada yang terus meningkat menyebabkan kekurangan pasokan (Ariwibowo, 2017). Wilayah Jawa Barat tidak mampu mencukupi kebutuhan tersebut karena keterbatasan lahan pertanian untuk tanaman lada. Karena sebagian besar sudah menjadi sawah padi. Situasi ini mendorong Banten memperluas wilayah pengaruhnya hingga ke Sumatera bagian selatan, mencakup Palembang, Jambi, Bengkulu, dan terutama Lampung, sebagai solusi pasokan lada. Lampung pada masa itu menyuplai hingga 90% kebutuhan lada Banten, menjadikannya wilayah strategis dan vital.
Penguasaan Banten atas Lampung tidak hanya berbentuk dominasi ekonomi, tetapi juga kekuasaan politik. Kondisi sosial Lampung pada abad XVI terbagi dalam empat keratuan adat, yakni Keratuan di Puncak (Abung dan Tulang Bawang), Keratuan di Pugung (Pugung dan Pubian), Keratuan di Balau (Teluk Betung), dan Keratuan Pemanggilan (Krui, Ranau, dan Komering). Keunggulan geografis dan kesuburan tanah Lampung memungkinkan pengembangan lada jenis kawur, yang memiliki kualitas lebih kuat dan ukuran lebih besar dari lada Jambi atau Manna. Lada Lampung ini, meskipun memerlukan waktu panen lebih lama, masih sebagai komoditas yang terbaik di Sumatera bagian selatan.
Keunggulan ini menarik minat kekuatan luar untuk menguasai Lampung, termasuk Banten yang akhirnya berhasil mengokohkan pengaruhnya di wilayah tersebut (Imadudin, 2017).
Islamisasi Lampung oleh Banten tidak dapat terlepas dari relasi politik awal yang terbangun sejak pertengahan abad XV. Hal itu ketika Sunan Gunung Djati/fatahillah datang ke Lampung dan menikahi putri Sinar Alam, keturunan Minak Raja Jalan dari Keratuan Pugung. Pernikahan ini merupakan strategi politis untuk menarik Lampung ke dalam pengaruh Islam dan menentang dominasi Portugis. Melalui pernikahan tersebut, Islam mulai sampai kepada elit Lampung, khususnya Keratuan Darah Putih, dan menyebar ke masyarakat secara bertahap. Hubungan ini juga menandai awal keterikatan politik antara Banten dan Lampung, yang kemudian diperkuat dengan keterlibatan Banten dalam perdagangan lada dan ekspansi kekuasaan.
Proses Islamisasi Lampung oleh Banten tidak hanya bersifat sosial-politik. Tetapi juga terekam secara historis melalui berbagai prasasti dan piagam yang menjadi maklumat Sultan Banten. Prasasti Dalung Kuripan, Prasasti Dalung Bojong, Prasasti Putih, dan Prasasti Tegineneng merupakan contoh bukti fisik pengaruh Islam Banten di Lampung. Semua prasasti ini menggunakan huruf Pegon modifikasi aksara Arab. Penggunaannya untuk menulis dalam bahasa Jawa atau Melayu yang menandakan penyebaran budaya Islam.
Prasasti-prasasti ini tidak hanya sebagai dokumen administratif, tetapi juga sebagai simbol kekuasaan dan legitimasi Islam di tanah Lampung, yang memperkuat posisi Banten sebagai pelindung dan penyebar agama Islam di wilayah tersebut.
Prasasti-prasasti tersebut membuktikan bahwa Islam tidak hanya diperkenalkan melalui dakwah personal. Tetapi juga melalui struktur pemerintahan dan hukum yang mulai bercorak Islam. Penggunaan aksara Pegon juga menunjukkan adanya upaya Banten untuk membumikan Islam dalam budaya lokal. Yakni memperkuat posisi Islam dalam sistem sosial dan hukum di Lampung. Selain itu, Banten mengangkat pejabat-pejabat lokal di Lampung untuk memungut pajak lada dan menjalankan sistem hukum Islam. Ekspansi kekuasaan ini bersifat terstruktur, menempatkan Banten sebagai pengendali utama arus lada. Sekaligus sebagai pelindung dakwah Islam di wilayah selatan Sumatra.
Kekuasaan Banten di Lampung semakin mapan pada pertengahan abad XVII. Yakni saat terjadi peningkatan hubungan dagang antara Banten dan wilayah Asia Timur seperti Jepang, Makau, dan Taiwan. Banten mulai menjual lada secara langsung, tidak hanya sebagai perantara, melainkan sebagai pemain utama dalam perdagangan rempah. Kekuatan ekonomi ini mendukung penyebaran pengaruh budaya dan agama Islam. Para ulama dan pedagang Muslim dari Banten hadir di Lampung. Mereka membangun jaringan dakwah dan ekonomi, serta memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat lokal.
Islamisasi Lampung oleh Banten adalah contoh konkret bagaimana jalur perdagangan menjadi sarana efektif untuk penyebaran agama dan pembentukan kekuasaan politik.
Islamisasi Lampung oleh Banten merupakan fenomena sejarah kompleks yang melibatkan interaksi antara kekuatan dagang, kekuasaan politik, dan penyebaran agama Islam. Sebagai penghasil lada terbesar di Pulau Sumatera, Lampung memiliki daya tarik strategis. Hal ini menjadikannya target ekspansi Banten, baik dalam konteks ekonomi maupun agama. Melalui hubungan perdagangan lada yang intensif pada abad XVII–XVIII, Banten berhasil mengintegrasikan Lampung ke dalam jaringan dagang dan kekuasaannya. Proses ini makin kuat dengan pengaruh politik sejak abad XV oleh Sunan Gunung Djati. Dan terabadikan dalam prasasti-prasasti berhuruf Pegon yang menandakan kehadiran Islam. Perjalanan Islamisasi ini menunjukkan bahwa penyebaran agama di Nusantara tidak hanya bergantung pada dakwah. Tetapi juga erat kaitannya dengan dinamika perdagangan dan kekuasaan. Ke depan, refleksi atas hubungan historis antara Lampung dan Banten menjadi penting. Yakni untuk memahami akar budaya Islam di Lampung, serta kontribusinya dalam mozaik sejarah Islamisasi di Nusantara