
Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka.
MARAKNYA fenomena kumpul kebo (buffalo gathering) atau kohabitasi (cohabitation) yang terjadi berbagai kalangan belakangan ini, mendorong sebagian orang untuk mempertanyakan kembali makna hidup perkawinan dalam dunia modern. Apa artinya komitmen dan kesetiaan pasangan yang terikat dalam mahligai perkawinan yang dipandang sakral oleh semua agama besar? Sementara kohabitasi merujuk pada pasangan yang hidup bersama seperti suami istri tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah. Bagaimana kita menyikapi fenomena ini.
Pandangan Hidup
Berbagai kajian menjunjukkan bahwa, di jaman modern ini, komitmen antara dua sejoli tak wajib diritualkan dalam sebuah upacara agama. Pernikahan tidak lagi dianggap sebagai satu-saatunya bentuk sah dalam menjalin komimen. Mengapa demikian? Mungkin karena realitas berbeda yang disajikan oleh ikatan perkawinan yang suci.
Fenomena maraknya kumpul kebo dewasa ini juga terdukung oleh perubahan budaya akibat globalisasi. Dunia yang tak bisa lagi di sekat-sekat itu, kini terpapar nilai-nilai asing yang lebih liberal. Juga ikut menguatan dari kemudahan komunikasi, media sosial, dan mobilitas masyarakat akitbat kemajuan di bidang transportasi. Konsep-konsep dan gaya hidup baru pun diperkenalkan, termasuk hubungan romantis di luar pernikahan.
Alasan Kumpul Kebo
Terdapat beragam alasan mengapa kohabitasi semakin lazim di tengah masyarakat modern. Dengan memahami motif mengapa orang memilih untuk kumpul kebo dapat memberikan kita wawasan tentang dinamika hubungan dan kesejahteraan invidu. Penulis mencatat sejumlah alasan bagi bufallo gathering.
Pertama, nyaman dan praktis. Banyak pasangan mengakui bahwa kenyamanan dan kepratisan mendoorong mereka untuk tinggal bersama di luar ikatan pernikahan. Di Indonesia, fenomena seperti ini sudah lama berlaku. Terutama di wilayah-wilayah di mana tuntutan mahar untuk menikahi pasangan perempuan memberatkan. Dengan kumpul kebo, biaya transportasi, akomodasi dapat disharing di antara kedua pasangan.
Nilai praktis dari kohabitasi sering kali menjadikannya sebagai pilihan menarik bagi pasangan yang ingin meningkatkan kondisi hidup tanpa implikasi hukum ongkos ritual.
Kedua, menguji kecocokan. Keyakinan umum dari orang dewasa yang sedang mencari pasangan adalah bahwa kohabitasi dapat berfungsi sebagai cara menguji hubungan mereka sebelum berkomitkan terhadap sebuah pernikahan. Pandangan ini merujuk pada gagasan bahwa hidup bersama memungkinkan kedua pasangan untuk menilai kecocokan mereka pada berbagai level, seperti gaya komunikasi, penyelesaian konflik, dan perilaku sehari-hari. Akan tetapi, riset menunjukkan alasan untuk mengunji kecocokan malah berefek negatif, termasuk rendahnya kepuasan terhadap hubungan dan meningkatnya.
Ketiga, hubungan emosional. Bagi sejumlah pasangan yang ingin menikah, bufallo gathering juga didorong oleh keinginan untuk memperdalam keintiman emosional dan menguatkan ikatan. Hidup bersama dapat mendorong kedekatan (sense of closeness) dan kesempatan berbagi pengalaman yakni, hal tidak mudah diperoleh melalui pacaran jarak jauh. Koneksi emosional ini dapat menjadi motivator kuat bagi pasangan yang merasa siap untuk membawa hubungan mereka ke jenjang yang berikutnya.
Keempat, penerimaan masyarakat. Semakin mahfumnya kohabitasi dalam kehidupan mansyarakat modern, turut berperan penting dalam keputusan individu untuk tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan. Berbagai survei menunjukkan bahwa cukup besar jumlah orang dewasa yang menganggap kohabitasi sebagai cara hidup yang dapat mahfum. Bahkan oleh mereka yang tak berkeinginan untuk menikah sekalipun.
Pergeseran norma-norma masyarakat ini telah memudahkan banyak pasangan untuk memilih kohabitasi tanpa khawatir menghadapi stigma atau penolakan.
Kelima, stabilitas relasi. Ada pasangan yang percaya bahwa tinggal bersama dapat menjamin stabilitas hubungan mereka. Dengan berbagi tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari, pasangan akan lebih berkomitmen untuk menginvestasikan waktu, tenaga, modal uang dan perhatian terhadap kehidupan masing-masing pasangan. Meskipun demikian, riset membuktikan, stabilitas yang terasakan itu tak selalu menunjukkan keberhasilan jangka panjang. Pasangan yang melakukan kohabit dengan keraguan terhadap perkawinan lebih berkemungkinan menghadapi berbagai risiko kusulitan dalam perkawinan apabila mereka akhirnya memutuskan untuk menikah.
Fenomena Global
Sebuah penelitian dari Universitas Denver menunjukkan bahwa pasangan yang sudah tinggal bersama tanpa ikatan legal berkecenderungan lebih besar 34% untuk bercerai sebesar dari pada pasangan yang bertunangan dan kemudian menikah sebesar 23%. Penelitian yang sama juga menunjukkan bahwa pasangan yang mengalami transisi dari hidup single kepada hidup berpasangan tanpa rencana sebelumnya, lebih besar berisiko terhadap perceraian ketimbang pasangan yang dengan sadar membuat rencana dan keputusan bersama secara bertahap
Bagaimanapun hidup bersama tanpa ikatan dapat menimbulkan tekanan terhadap hubungan kedua pihak.
Konflik akan terjadi manakala salah satu pasangan cenderung memikirkan hubungan perkawinan yang sah dari pada terus melakukan kumpul kebo hingga usia tua.
Jadi, baik buruknya kohabitasi atau kumpul kebo pada akhirnya bergantung pada situasi dan motivasi seseorang. Meskipun di satu pihak cara hidup ini memberi kesempatan untuk meningkatkan keintiman dan mungkin juga keuntungan finansial. Di lain pihak, ia juga berisiko terhadap naiknya tingkat perceraian, potensi kesalahpahaman di dalam hubungan. Oleh karena itu komunikasi terbuka terhadap maksud dan ekspektasi penting bagi pasangan. Hal itu untuk mempertimbangkan kohabitasi sebagai jenjang menuju pernikahan yang sah.