Oleh : Erlina Rufaidah (Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Unila) dan Musta’an Basran (Penulis Budaya Lampung)
PROVINSI Lampung merupakan salah satu lumbung pangan nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2023, Lampung memproduksi sekitar 1,59 juta ton beras untuk konsumsi pangan—naik tipis 2,6% dari tahun sebelumnya. Luas panen padi mencapai 530.110 hektare, dengan total produksi gabah kering giling (GKG) sebesar 2,76 juta ton.
Meski angka ini cukup menggembirakan, ada fakta yang jarang diungkap: tidak semua padi yang diproduksi adalah varietas beras putih. Varietas ketan, meski memiliki nilai budaya dan ekonomi, porsinya sangat kecil dan cenderung menurun. Hal ini disebabkan sifat tanaman ketan yang membutuhkan lahan khusus, siklus tanam lebih panjang, serta pasar yang terbatas dibanding padi konsumsi umum.
Di Kabupaten Lampung Barat—daerah yang menjadi pusat tradisi kuliner berbahan ketan—produksi padi pada 2022 mencapai 62.802 ton, yang jika dikonversi menjadi 36.102 ton beras. Namun, tidak ada data terpublikasi khusus berapa ton di antaranya adalah ketan. Minimnya perhatian terhadap data produksi ketan ini mencerminkan rendahnya prioritas pengembangan varietas tersebut dalam kebijakan pangan daerah.
Ketahanan pangan adalah isu strategis yang tak bisa dipandang sebelah mata. Badan Pangan Dunia (FAO) berulang kali mengingatkan bahwa dunia menghadapi ancaman krisis pangan akibat perubahan iklim, gangguan rantai pasok global, dan konflik geopolitik. Indonesia, meski berlimpah sumber daya alam, tetap harus waspada. Terlalu bergantung pada satu jenis pangan pokok—beras putih—membuat kita rentan terhadap fluktuasi produksi dan harga. Di sinilah diversifikasi pangan memainkan peran vital.
Diversifikasi pangan bukan hanya jargon kebijakan, tetapi strategi nyata untuk memperkuat kedaulatan pangan. Pangan lokal seperti singkong, sagu, jagung, dan beras ketan sesungguhnya dapat menjadi penyangga saat pasokan beras terganggu. Namun, ironi terjadi: di banyak daerah, beras ketan justru semakin jarang ditemukan di sawah-sawah petani. Penyebabnya beragam, mulai dari alih fungsi lahan, perubahan preferensi petani, hingga minimnya dukungan program pemerintah untuk varietas khusus ini.
Ngelemang: Tradisi yang Menjaga Ketan
Jika berbicara tentang ketan di Lampung Barat, sulit memisahkannya dari tradisi ngelemang (di beberapa daerah juga ada tardisi ini seperti di suku minang, Bengkulu, semende, ogan). Lemang adalah makanan berbahan beras ketan yang dimasak dalam bilah bambu, dilapisi daun pisang, dan diberi santan, lalu dibakar perlahan di atas bara api. Tradisi ngelemang biasanya dilakukan menjelang hari-hari besar seperti Idulfitri, perayaan adat, dan nayuh (pesta pernikahan).
Lebih dari sekadar proses memasak, ngelemang adalah ritual sosial. Keluarga dan tetangga berkumpul, saling membantu, sambil bercengkerama. Ada pembagian peran yang alami: kaum pria mempersiapkan bambu dan perapian, kaum wanita menyiapkan beras ketan, santan, dan daun pisang. Anak-anak ikut mengamati dan belajar. Proses ini menjadi media transfer pengetahuan kuliner sekaligus nilai kebersamaan antar generasi.
Secara ekonomi, ngelemang juga menghidupkan rantai pasok lokal. Permintaan beras ketan meningkat menjelang tradisi ini. Petani ketan, pedagang bambu, penjual santan, dan bahkan penyedia kayu bakar mendapatkan manfaat. Jika dikelola dengan pendekatan ekonomi kreatif, ngelemang berpotensi menjadi daya tarik wisata budaya. Festival lemang, misalnya, bisa menarik wisatawan domestik maupun mancanegara untuk datang, belajar, dan mencicipi kuliner khas ini.
Ancaman terhadap Keberlanjutan Ketan
Sayangnya, keberlanjutan tradisi ngelemang kini menghadapi tantangan serius. Produksi ketan di Lampung menurun akibat:
Alih fungsi lahan: Banyak sawah berubah menjadi perkebunan komoditas lain seperti kopi, sawit, atau tebu yang dianggap lebih menguntungkan secara cepat.
Kalah bersaing dengan padi konsumsi umum: Petani cenderung memilih varietas padi yang bisa dipanen lebih cepat dan memiliki pasar luas.
Minim insentif dan program khusus: Tidak ada kebijakan yang secara eksplisit mendorong penanaman varietas ketan di tingkat daerah.
Perubahan gaya hidup dan selera konsumsi: Generasi muda lebih mengenal pangan instan daripada olahan tradisional seperti lemang.
Jika tren ini berlanjut, beras ketan bisa menjadi barang langka. Akibatnya, tradisi seperti ngelemang berisiko hanya menjadi cerita di buku sejarah.
Ngelemang sebagai Strategi Diversifikasi Pangan
Dalam kerangka diversifikasi pangan, ngelemang memiliki fungsi ganda. Pertama, ia menjaga keberadaan beras ketan di pasaran. Tradisi yang berulang setiap tahun memastikan permintaan tetap ada, sehingga petani punya alasan untuk menanam ketan. Kedua, ngelemang adalah sarana edukasi pangan. Generasi muda yang ikut dalam proses ini belajar menghargai keberagaman sumber pangan.
Lebih dari itu, ngelemang bisa menjadi pintu masuk pengembangan ekonomi daerah. Festival lemang, lomba memasak lemang, atau wisata agro ke ladang ketan bisa terkemas sebagai atraksi budaya yang menarik. Pengalaman kuliner ini memiliki nilai jual tinggi, apalagi jika terpadukan dengan cerita sejarah dan filosofi lemang.
Seruan Kebijakan dan Aksi Nyata
Menjaga ngelemang berarti menjaga dua hal sekaligus: ketahanan pangan lokal dan pelestarian budaya. Untuk itu, beberapa langkah strategis seperti:
Pendataan dan riset khusus varietas ketan: Pemerintah daerah perlu memisahkan data produksi ketan dari padi umum. Data yang akurat adalah dasar kebijakan yang tepat sasaran.
Insentif bagi petani ketan: Subsidi benih, bantuan pupuk organik, atau harga beli minimal bisa mendorong petani menanam ketan.
Pengembangan industri olahan ketan: Selain lemang, ketan bisa menjadi berbagai produk seperti kue lapis, rengginang ketan, atau makanan modern berbasis ketan yang dapat menjangkau pasar lebih luas.
Promosi budaya dan pariwisata: Jadikan ngelemang sebagai event tahunan yang masuk kalender wisata Lampung Barat. Keterlibatan pelaku UMKM dan komunitas akan memperluas dampaknya.
Edukasi generasi muda: Sekolah-sekolah bisa mengadakan hari khusus pangan lokal, termasuk mengenalkan proses pembuatan lemang.
Menjaga Pangan, Menjaga Identitas
Ketahanan pangan sejatinya tidak hanya diukur dari seberapa banyak beras yang tersedia di gudang Bulog. Ia juga bergantung pada keberagaman sumber pangan, daya adaptasi masyarakat terhadap perubahan, dan kekuatan budaya yang melekat di dalamnya.
Ngelemang memberi kita pelajaran berharga: bahwa dari sebatang bambu dan segenggam beras ketan, lahirlah makanan yang mengenyangkan, tradisi yang mengikat, dan identitas yang mengakar. Jika kita membiarkan ketan hilang dari sawah, maka kita juga kehilangan satu bagian penting dari jati diri Lampung.
Sudah saatnya semua pihak bergerak. Pemerintah daerah harus melihat ketan dan ngelemang bukan sekadar urusan kuliner, tetapi sebagai aset strategis untuk pangan dan pariwisata. Masyarakat perlu mempertahankan tradisi ini, tidak hanya pada momen tertentu, tetapi juga sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Menjaga ngelemang berarti memastikan bahwa di masa depan, anak cucu kita masih bisa merasakan aroma harum lemang yang baru matang, sambil mendengar cerita-cerita lama dari para tetua. Menjaga ngelemang berarti memastikan Lampung tetap berdaulat pangan dan kaya budaya. Dan menjaga ngelemang berarti kita tidak membiarkan identitas daerah hanyut oleh arus globalisasi yang serba instan.
Oleh:Jannus TH Siahaan Pengamat Kebijakan Publik dan Keamanan serta menyandang gelar Doktor Sosiologi dari Universitas Padjajaran Bandung PRESIDEN Republik Indonesia...