
ADA satu bulan yang selalu didamba kehadirannya, khususnya oleh umat Islam. Ramadan. Bulan ini disebut-sebut sebagai sayyidus syuhur, rajanya segala bulan. Banyak keutamaan yang diberikan. Pahala kebaikan diganjar berlipat ganda. Ramadan bulan suci yang dinanti, di mana firman Tuhan turun pertama kali, dan ini terkait literasi.
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)…” (Q.S. Al-Baqarah: 185)
Malaikat Jibril menghampiri Nabi Muhammad saw ketika manusia mulia ini sedang menyendiri di Gua Hira, di puncak Jabal Nur. Bertafakkur, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta Semesta. Dari kota Makkah, Gua Hira berjarak kurang lebih 6 kilometer di sebalah Utara. Tim Media Center Kemenag RI pernah mendaki puncak menuju Gua itu. Butuh waktu kira-kira 40 menit untuk sampai ke sana. (kemenag.go.id: 2008)
“Iqro’!” (Bacalah!) Malaikat Jibril meminta Nabi Muhammad saw untuk membaca. Semula Rasulullah yang ummi, yang buta aksara menjawab permintaan Jibril dengan mengatakan, “Ma ana bi qori”, (aku tidak bisa membaca). Pembawa wahyu itu pun mengulangi sebanyak tiga kali dan selalu mendapat jawaban yang sama. “Aku tidak bisa membaca.”
Kemudian Malaikat Jibril membacakan wahyu pertama, surat Al-‘Alaq ayat 1-5. Sebagai penanda dimulainya misi kenabian Nabi Muhammad saw.
(1). Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan! (2). Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.(3). Bacalah! Tuhanmulah yang Maha Mulia, (4). Yang mengajar (manusia) dengan pena. (5). Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.
Lieterasi Sebagai Jalan Pengetahuan
Membaca, sebagaimana menjadi semangat mengawali misi kenabian merupakan kunci pembuka gerbang ilmu pengetahuan. Kita umat Muhammad saw, ikut untuk terus membaca alam raya dan segala isinya. Pada semesta dan dalam setiap peristiwa, ada hikmah tersembuyi yang berharga bagi kelangsungan hidup manusia. Namun hanya dapat dibuka oleh mereka yang bersedia menggunakan nalar pikirnya.
Lihatlah ketika para Pemikir, memperhatikan (membaca) dunia dan segala geraknya, menghasilkan ilmu alam. Ketika mengamati bagaimana manusia berinteraksi, melahirkan gagasan yang mengilhami ilmu-ilmu sosial, dan sebagainya. Syaratnya hanya ketika sungguh-sungguh mau “membaca”. Seperti Isaac Newton, menemukan teori gravitasi, yang konon terinspirasi dari sebuah apel yang jatuh dari pohonnya.
Soalannya adalah bagaimana cara kita membaca? Apa itu membaca? Selama ini, membaca sekedar kita maknai sebagai kemampuan melafalkan huruf dalam kata. Kemudian terangkai menjadi kalimat. Itu tidak sepenuhnya salah.
Melek aksara adalah satu cara kita untuk membaca teks. Dan dengan itu kita bisa masuk dalam lingkup pengetahuan yang lebih luas.
Tapi apakah hanya itu maksud dari membaca? Jika kita kembali pada ayat pertama dari surat Al-‘Alaq. Maka perintah membaca tidak secara spesifik menjelaskan objek bacaan. Tuhan, melalui Malaikat Jibril hanya meminta Nabi Muhammad saw untuk membaca atas nama Tuhan yang menciptakan.
Artinya, makna membaca amatlah luas. Tidak hanya pada buku atau teks, tapi juga termasuk segenap peristiwa yang terjadi di alam semesta. Semua itu hendaknya bacalah dengan nama Tuhan yang menciptakan. Agar sebagai ciptaan, tumbuhlah ketaan penuh pada Yang Empunya alam. Dengan cara memanfaatkan fasilitas itu sebaik-baiknya untuk keperluan hidup bersama.
Manusia, sejak kelahirannya terbekali beberapa indra untuk menjadi media ketika membaca. Yaitu mata, telinga, dan hati. Mengaktifkan ketiganya dapat menjadikan proses membaca lebih mendalam.
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78)
Mata, telinga, dan hati menjadi senjata memahami semesta. Nurcholish Madjid (1997) menggunakan istilah alam besar yang melekat pada upaya mengamati jagat raya dan alam kecil sebagai cara literasi manusia membaca diri dan lingkungannya. Proses membaca adalah bentuk ikhtiar kita menemukan pengetahuan yang tersembunyi di dalamnya.
Menumbuhkan Minat Baca
Sayangnya, buah manis dari proses membaca sebagaimana ulasan sebelumnya, tak lantas serta-merta menjadi pemantik semangat baca kita. UNESCO dalam penelitiannya, menyebutkan hanya 0,001 persen masyarakat Indonesia yang gemar membaca buku. Artinya, dari 1000 orang, hanya 1 orang yang menjadikan membaca sebagai kebiasaannya. (rri.co.id: 2024).
Butuh strategi agar minat baca dapat tumbuh dan terarah. Salah satunya dengan menulis. Ketika kita ingin menulis sebuah tema, tahap pertama untuk memulai adalah membaca. Akan sulit rasanya, menulis tanpa menelaah sejumlah referensi.
Benar sebuah ungkapan yang mengatakan, penulis yang baik adalah pembaca yang baik.
Dengan menulis, setidaknya memberi petunjuk apa saja yang harus dibaca. Misalnya, saat menulis tartikel ini, saya fokus pada sumber-sumber yang terkait dengan topik itu. Proses membaca jadi lebih menyenangkan. Sebab membaca adalah sesuatu yang kita butuhkan sebagai bekal proses menulis. Dengan begitu, kita punya alasaan kuat untuk mulai membaca.
Dan bukankah literasi tak hanya soal menelusuri dan memahami informasi (membaca), tapi juga tentang bagaimana memproduksi pengetahuan baru dari proses membaca tadi. Semoga semangat Ramadan, bulan di mana seruan membaca jelas lewat wahyu pertama yang turun, menjadi bara api yang menyalakan semangat literasi. Wallahu a’alam bishawab