Jakarta (Lampost.co) — Penjualan mobil di Indonesia terus melambat sepanjang 2025. Di tengah daya beli masyarakat yang melemah dan ketidakpastian ekonomi global, pelaku industri otomotif menilai pemerintah perlu segera memberikan insentif Industri Otomotif jangka menengah untuk memulihkan pasar domestik.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, mengatakan regulasi dan stimulus dari pemerintah menjadi faktor penting untuk menggerakkan kembali pasar otomotif.
“Kalau ada obat mujarab yang segera bisa memberikan kondisi yang lebih baik, pastinya bisa naik. Mungkin tunggu kebijakan insentif jangka pendek hingga menengah, mungkin 2–3 tahun supaya itu segera naik,” ujarnya.
Di sisi lain, pelaku industri komponen menilai kebijakan pemerintah yang berfokus pada mobil listrik (electric vehicle/EV) belum sepenuhnya berdampak pada industri dalam negeri.
Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Alat-alat Mobil dan Motor (GIAMM), Rachmat Basuki, mengungkapkan bahwa sejumlah perusahaan komponen sudah menjajaki kerja sama (business matching) dengan produsen EV, termasuk BYD dan VinFast, namun belum ada kesepakatan konkret.
“Beberapa merek EV kan ada yang assembling di PT Handal itu. Tetapi yang paling besar volumenya kan BYD. Kami sudah business matching sejak setahun yang lalu, tapi belum ada satu pun yang sudah deal untuk lokalisasi,” ujarnya.
Padahal, kedua merek tersebut ditargetkan mulai memproduksi mobil listrik secara lokal pada 2026, sesuai dengan Peraturan Menteri Investasi Nomor 6/2023 jo. Nomor 1/2024, yang mengakhiri masa insentif impor mobil listrik completely built up (CBU) pada akhir 2025.
Mulai 1 Januari 2026, pabrikan EV wajib memenuhi komitmen produksi 1:1, di mana spesifikasi mobil lokal harus setara atau lebih tinggi dibanding unit impor. Jika gagal, pemerintah berhak mencairkan bank garansi dari perusahaan peserta program.
Basuki menduga belum tercapainya kerja sama dengan industri lokal karena biaya produksi dan skema pembayaran (term of payment) yang belum sepakat. “Sepertinya masalah cost, mungkin belum ada sepakat. Kedua bisa jadi cara bayarnya,” katanya.
GIAMM mendorong agar pemerintah memberikan insentif berbasis Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) supaya produsen berlomba menyerap komponen lokal. Insentif ini penting untuk kemajuan Industri Otomotif.
“Kalau TKDN-nya tinggi, insentifnya juga harus tinggi. Tapi TKDN-nya yang benar, jangan cuma assembling sudah dapat 30%,” tegas Basuki.
Beban Pajak Dinilai Hambat Penjualan Mobil
Sementara itu, pengamat otomotif Agus Tjahjana menilai beban pajak kendaraan yang terlalu tinggi menjadi penyebab lain turunnya penjualan mobil nasional.
Menurutnya, total beban pajak kendaraan di Indonesia saat itu mencapai sekitar 40% dari harga jual mobil. Termasuk PPnBM dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Agar lebih kompetitif, perlu mempertimbangkan insentif Industri Otomotif.
“Orang gak akan beli kalau mahal, yang paling cepat turunkan ya pajak. PPnBM contoh waktu Covid-19. Terus tadi bea balik nama sebagai ornamen ambil ulang, tapi dia enggak lihat secara keseluruhan,” ujar Agus.
Sebagai perbandingan, beban pajak di Thailand hanya sekitar 32%, sehingga membuat negara itu lebih kompetitif sebagai basis produksi otomotif di Asia Tenggara. “Struktur pajak di Thailand lebih ringan, jadi daya beli naik, investasi juga masuk,” katanya.
Agus menilai perlu ada evaluasi menyeluruh atas kebijakan perpajakan otomotif agar lebih adil. Ia juga mengingatkan kendaraan konvensional masih menjadi penyumbang utama pajak daerah. Sedangkan, mobil listrik impor justru banyak mendapatkan pembebasan pajak.
“Untuk mobil listrik impor yang justru bebas, bisa tinjau ulang kebijakan tersebut, apakah insentifnya hapus atau produk lokal yang tarifnya turun,” ujarnya.
Meski begitu, Agus optimistis industri otomotif tetap menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan dukungan insentif Industri Otomotif, targetnya bisa mencapai 8% dalam beberapa tahun mendatang.








