Bandar Lampung (Lampost.co) — Jelang kontestasi pemilihan kepala daerah (
pilkada), semua calon kepala daerah (cakada), tokoh
politik serta partai politik tengah mengatur strategi. Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow mengatakan ada kecenderungan strategi. Apalagi yang terpakai dalam pilkada nanti akan sama dengan strategi saat Pemilu dan Pilpres 2024 kemarin.
.
Pendekatan itu dengan politik populisme ala Presiden Joko Widodo saat cawe-cawe membantu anaknya saat kontestasi pilpres. Cawe-cawe itu yakni bagi-bagi bansos, sembunyi-sembunyi gunakan politik uang dan pengerahan aparatur negara dengan massif.
.
Politik populisme ‘ala Jokowi’ teranggap telah membuat sebagian besar masyarakat Indonesia terhipnotis dan kehilangan akal sehatnya. Demi bansos dan beberapa lembar uang rupiah. Jeirry menyebut masyarakat terlena dan tidak lagi memikirkan masa depan demokrasi Indonesia.
.
.
“Kita tidak boleh lagi termakan oleh politik populisme yang sekarang sedang dimainkan. Itu sudah termainkan pada banyak tempat (saat pemilu 2024). Dengan politik populisme ini, ia berniat membangun dinasti pada daerah-daerah, tadi ada di Sumatera Utara melalui menantunya, Jawa Tengah melalui anaknya, DKI Jakarta juga demikian,” ucap Jeirry, Jumat (21/6).
.
Selanjutnya sinyal-sinyal penyelenggaraan pilkada yang buruk juga sudah terbaca. Apalagi sejak putusan Mahkamah Agung tentang syarat usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Menurut Jeirry, amar putusan MA itu serupa seperti yang terputuskan MK soal batas usia calon wakil presiden.
.
“Kalau kita perhatikan, ini problematik betul. Karena putusan MA ini keluar setelah pendaftaran pencalonan perseorangan itu berakhir. Itu harusnya tidak boleh. Ini harus batal demi hukum,” tegasnya.
.
Populisme
.
Namun, begitulah cara politik populisme bekerja. Jeirry mengatakan terkadang orang yang menggunakan pendekatan seperti itu membuat masyarakat lebih percaya sosok ketimbang etika dan normal hukum.
.
“Itu problem kita sekarang. Ini akan terjadi juga dalam pilkada. Bahkan sudah terjadi kan, dalam proses tahapan pilkada sekarang.? Silakan menilai apakah memang pilpres atau pemilu kemarin buruk. Saya bisa terkoreksi dengan argumentasi yang saya kemukakan. Seberapa besar ia berpotensi kembali pada pilkada nanti? Kami memprediksi masih akan terjadi,” ungkap Jeirry.
.
Kemudian ia mengingatkan, apabila masyarakat tidak juga sadar dan mau melampaui populisme politik yang tergunakan oleh rezim. Maka masa depan demokrasi Indonesia yang tengah terancam.
.
“Pada pilkada ini yang harus kita atasi. Kita punya problem serius tentang bagaimana membangun daya kritis pemilih. Supaya lebih cerdas, rasional atau waras, mencerna dinamika yang akan terjadi. Kalau tidak, ini repot. Bansos sudah pasti akan merajalela. Karena itu sudah terbukti efektif pada pemilu 2024. Penyelenggara pemilu juga tidak bisa diharapkan. Kita harus rajin menuntut,” pungkasnya.