Bandar Lampung (Lampost.co) — Pembelajaran wisata (study tour) merupakan program yang biasa instansi pendidikan lakukan. Kegiatan itu dalam rangka memberikan pengalaman dan pembelajaran lebih kepada peserta didik di luar jam pelajaran di kelas.
Namun, pelaksanaannya seharusnya lebih menekankan aspek pembelajaran (study) dari pada perjalanan (tour) sesuai tujuannya, yaitu memberikan pengalaman dan wawasan secara empiris kepada peserta didik.
“Penekanannya harus kepada studinya. Kalau tour itu hanya sekadar tambahan saja, jangan terbalik,” ujar Pengamat Pendidikan Unila, M Thoha B Sampurna Jaya, Selasa, 21 Mei 2024.
BACA JUGA: ASITA dan Disparekraf Perketat Pelaksanaan Study Tour Sesuai SOP
Untuk menghadirkan pengalaman dan pembelajaran yang mengedukasi, dia menilai sekolah perlu membuat standar operasional prosedur (SOP) yang jelas terkait study tour.
SOP itu harus memuat kurikulum pembelajaran yang menjadi output atau hasil dari kegiatan yang siswa lakukan. Sehingga, sepulangnya peserta didik dari kegiatan wisata mendapatkan pengalaman, ilmu, dan pengetahuan baru.
“SOP itu termasuk juga mengatur lama waktu study tour, lokasi, pengadaan transportasi, dan lainnya, sehingga bisa lebih terarah,” ujar dia.
Dia menjelaskan awalnya kegiatan sebagai bagian dari acara perayaan sekolah untuk melepas siswa yang sudah menyelesaikan pendidikannya pada jenjang tertentu. Namun, seiring berjalannya waktu, kegiatan itu kini hanya sebatas perayaan dan acara wisata untuk para siswa.
Kehadiran program itu juga cenderung menuai banyak polemik bagi orang tua. Sebab, tidak semua orang tua mampu membiayai perjalanan anaknya.
“Biayanya tidak sedikit sehingga membuat beban orang tua makin bertambah. Terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah,” kata dia.
Keputusan Wali Murid
Untuk mengatasi itu, dia mengusulkan agar rencana program tersebut sepenuhnya melalui rapat komite bersama orang tua. Lewat pertemuan itu, wali murid dan sekolah bisa mencari solusi terbaik guna menghindari terjadinya percekcokan.
“Keputusannya dari hasil rapat komite sekolah, bukan keputusan guru. Sekolah itu fokus menyiapkan kurikulum agar ada nilai pembelajarannya. Kalau tidak ada pembelajarannya jangan disebut study tour,” ujarnya.
Dia menambahkan, peristiwa kecelakaan bus yang menewaskan 12 siswa salah satu sekolah di Depok saat study tour patut menjadi perhatian dan evaluasi. “Termasuk dalam penentuan layanan penyedia jasa transportasi juga harus ada evaluasi agar sesuai standar kelayakan,” kata dia.