Bandar Lampung (Lampost.co) — Fenomena perundungan (bullying) masih menjadi persoalan dunia pendidikan, baik di sekolah maupun perguruan tinggi. Praktik itu terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari ejekan verbal hingga perlakuan sosial.
Salah satu mahasiswa Perguruan Tinggi di Lampung, Adelia Aprisa, mengaku pernah menyaksikan tindakan perundungan di kampusnya. Setelah mengetahui tindakan itu, dia memilih untuk memberi dukungan langsung kepada korban dan melaporkannya ke pihak berwenang di kampus.
“Pernah saya liat, terus saya deketin korbannya. Saya juga lapor ke bagian kemahasiswaan supaya ada penanganan dengan benar,” ujarnya.
Menurutnya, tindakan bullying bukan perilaku remeh karena dapat meninggalkan luka psikologis bagi korban. “Saya pribadi sangat menolak segala bentuk bullying, baik fisik, verbal, maupun lewat media sosial. Sebab, dampaknya bisa bikin orang kehilangan rasa percaya diri bahkan trauma,” kata dia.
Senada, Candani, mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Lampung, mengaku saat melihat kejadian bullying termasuk pengucilan memilih melapor ke pihak kampus. Menurutnya, untuk melaporkan kejadian tersebut, memang butuh kesadaran, kepekaan, dan keberanian.
“Ngata-ngatain yang bisa nyakitin itu kan bullying juga. Saya pernah lihat teman dikucilkan, terus saya lapor karena kalau diem saja malah bikin pelaku makin berani,” tuturnya.
Candani menyebut, kampusnya memiliki sistem pelaporan yang cukup terbuka bagi korban perundungan. “Ada dosen kemahasiswaan yang bisa bantu kalau ada korban bullying. Kami bisa lapor ke situ,” ujarnya.
Sementara itu, Santia, salah satu pelajar di Bandar Lampung, menilai rendahnya empati antar siswa menjadi pemicu masih terjadinya bullying. Ia berharap setiap sekolah bisa lebih aktif dalam menanamkan nilai saling menghargai.
“Kadang saya masih lihat teman yang kena ejek karena penampilan atau candaan kelewat batas. Itu bikin korban takut dan minder,” ujarnya.








