Bandar Lampung (Lampost.co) — SD Negeri 2 Harapan Jaya Korpri, Kecamatan Sukarame, Bandar Lampung, membantah pemberitaan yang menyebutkan adanya penyimpangan dana BOS dan pungutan liar (pungli).
Kepala Sekolah (Kepsek) SDN 2 Harapan Jaya Korpri, Heni Ermalinda, mengatakan semua tudingan itu tidak benar. Sebab, untuk terkait LKS sekolah tidak pernah mewajibkan untuk membeli.
“Itu inisiatif wali murid karena anak-anak memang belum ada buku untuk belajar sekarang ini. Sehingga, para orang tuanya yang membeli di luar sekolah dan guru tidak ada yang menjual LKS,” kata Heni.
Dia menjelaskan, tahun ajaran 2024/2025 merupakan kurikulum baru sehingga belum adanya bukunya. Sementara pengadaan buku hingga kini terkendala dari penerbit.
Untuk itu, dia masih menunggu pengiriman buku yang terpesan ke tiga penerbit, yaitu Airlangga, Mars Media, dan Tiga Serangkai. Total pemesanan buku itu menghabiskan dana BOS hingga Rp63,5 juta.
Dia menambahkan para pihak penerbit menjanjikan seluruh buku akan terkirim dalam waktu seminggu.
Selain itu, terkait seragam khususnya kelas 1 membeli beberapa pakaian dan atribut lengkapnya total Rp500 ribu langsung di koperasi sekolah. Program itu pun meneruskan dari Kepsek sebelumnya.
“Harganya juga bukan Rp600 ribu seperti yang ada dalam pemberitaan,” ujar dia.
Seragam sekolah juga memiliki rompi yang bisa siswa dapatkan di koperasi seharga Rp100 ribu. Namun, perlengkapan itu tidak pernah ada paksaan. Sebab, sampai saat ini banyak yang tidak memakai rompi tidak menjadi masalah.
“Bahkan, di kelas 1 itu ada 23 anak yang tidak membeli seragam dan mereka sekolah seperti biasa tidak pernah ada permasalahan. Sehingga, tidak ada pemaksaan bayar seragam itu. Untuk beberapa anak tidak mampu dan yatim piatu juga kami gratiskan seluruh biayanya,” kata dia.
Berdagang Jaga Ketertiban
Begitu pula dagangan es krim. Hal itu bentuk kerja sama perusahaan es krim dengan koperasi sekolah agar jajan anak-anak lebih terkontrol sehingga keuntungannya koperasi yang mengelola. “Jadi itu bukan dagangan saya,” kata dia.
Sementara, larangan pedagang luar sekolah juga bukan karena adanya es krim. Namun, akibat pedagang yang berjualan di pinggir pagar sekolah sehingga menganggu ketertiban.
“Sekarang juga mereka masih tetap berdagang di depan sekolah, tetapi di sebrang jalan dan tidak kami larang kalau di situ. Kalau kami melarang orang luar berdagang, sekolah saja sekarang punya empat kantin yang semua pedagangnya dari luar bukan guru,” kata dia.
Dia juga mengaku tidak pernah tahu dan mewajibkan adanya iuran. Hal itu memang ada, tetapi adanya inisiatif wali murid. Bahkan, pengelolaan dan belanjanya dari wali murid, bukan sekolah dan guru. “Sehingga, apapun yang terjadi bukan tanggung jawab sekolah,” ujarnya.