Bandar Lampung (Lampost.co) — Pendiri Rumah Demokrasi Ramdansyah mengharapkan adanya perlindungan hak suara pemilih. Hal itu tidak hanya pada daerah dengan pasangan calon tunggal, tetapi juga seluruh pelaksanaan Pilkada Serentak 2024.
“Sehingga pilihan terhadap non-pasangan calon dalam surat suara menjadi sah,” kata Ramdansyah, Selasa, 3 September 2024.
Kemudian ia menyampaikan hal ini dengan berbagai pertimbangan. Pertama adalah jumlah pilkada yang terikuti oleh kotak kosong meningkat sampai hari ini. Pada Pilkada 2018 terdapat 16 daerah dengan kotak kosong. Jumlah ini meningkat menjadi 25 daerah di tahun 2020.
Kemudian, jumlah kotak kosong pada Pilkada 2024 meningkat menjadi 43 daerah. Saat ini KPU memperpanjang masa pendaftaran calon sampai 4 September 2024. Ramdansyah melihat akomodasi pemberian suara “bukan kepada pasangan calon dalam surat suara” (none of above) teranggap sah mewakili kotak kosong perlu terapresiasi.
Adapun payung hukum keberadaan pasangan calon tunggal terakomodir pada Pasal 54C UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota. Teknis penentuan kemenangan calon tunggal teratur dalam Pasal 54D ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016.
“Tertulis bahwa calon tunggal akan menang apabila memperoleh paling sedikit 50 persen dari jumlah suara sah. Apabila kurang, maka pemenang adalah kotak kosong,” ujarnya.
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) didorong untuk melindungi hak-hak pemilih pada Pilkada Serentak 2024. Apabila yang tidak menginginkan memilih sejumlah pasangan calon yang terusung partai politik dan nantinya masuk dalam surat suara.
Kemudian MK pun perlu menjamin kesetaraan pemilih seperti tertuang pada Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa. “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Serta perlakuan yang sama pada hadapan hukum”.
Pertimbangan kedua, karena ada potensi rusak-nya demokrasi Indonesia. Dengan dugaan keberadaan kartel politik yang memborong dukungan partai politik sebanyak-banyaknya.
“Publik mencurigai keberadaan koalisi partai politik. Awalnya hanya koalisi dari pasangan calon presiden terpilih. Tapi melebar menjadi koalisi dengan partai-partai politik lainnya. Ini sebagai upaya untuk menjegal kontestasi sehat dalam demokrasi,” jelasnya.
Meskipun putusan MK Nomor 60 Tahun 2024 berhasil menurunkan ambang batas pencalonan. Dari semula 20 persen kursi atau 25 persen perolehan suara menjadi 6,5 persen, 7,5 persen, 8,5 persen dan 10 persen. Tetapi tetap saja keberadaan pasangan tunggal semakin besar.
“Kalau kartel politik ini terus terjadi, maka pilkada. Pilkada berikutnya akan berpotensi meningkatnya calon tunggal banyak daerah,” katanya.
Pertimbangan ketiga, karena partai politik dalam mengusung calon kepala daerah cenderung tertutup. Mekanisme tertutup dengan mengusung kader, teman, orang-orang yang memiliki kesamaan agama. daerah, suku, dan keluarga kalangan elite partai.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT