Jakarta (Lampost.co) — Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (HNW), mempertanyakan sikap Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pembacaan putusan mengenai hasil uji materi Undang-Undang Pilkada. MK terlihat sengaja menyembunyikan putusan selama 19 hari padahal sangat penting dan sensitif.
HNW mengungkapkan, putusan MK terkait Pilkada sebetulnya sudah diputuskan pada awal Agustus 2024. Namun, publik baru mengetahuinya hampir tiga minggu kemudian, tepat di tengah persiapan jelang pendaftaran Pilkada yang semakin dekat.
“Ini menimbulkan pertanyaan dan kritik publik: Kenapa MK harus ‘menyimpan’ putusan itu begitu lama? Selama 19 hari. Padahal ini bisa disegerakan, agar menghindarkan tuduhan bahwa MK ikut bermain politik, karena proses pilkada sudah berjalan,” kata HNW dalam keterangannya, Jumat 23 Agustus 2024.
Baca juga: Anak Wakil Ketua DPR Ikut Unjuk Rasa RUU Pilkada
HNW mencontohkan putusan MK No.60/PUU-XXII/2024. Putusan ini mengejutkan banyak pihak karena mengubah ambang batas pencalonan calon kepala dan wakil kepala daerah di Pilkada Serentak 2024.
MK, kata HNW, sudah memutuskan pada 1 Agustus 2024. Namun MK baru membacakan di muka publik pada 20 Agustus 2024.
Pertanyakan Motif
Sementara pendaftaran calon akan dibuka pada 27 hingga 29 Agustus 2024. Jarak pengumuman dan waktu pendaftaran sangat berdekatan alias mepet. “Apa motifnya? MK juga perlu mengklarifikasinya ke publik,” desak HNW.
Di sisi lain, mengubah aturan jelang pembukaan pendaftaran Pilkada yang sangat mepet dapat menimbulkan sejumlah dampak signifikan, baik secara teknis maupun politis. Di antaranya kebingungan dan ketidakpastian yang dialami peserta pilkada dan penyelenggara.
Mereka mungkin sudah mempersiapkan strategi dan administrasi berdasarkan aturan lama, sehingga perubahan yang mendadak ini memaksa mereka untuk menyesuaikan diri dalam waktu yang sangat singkat, yang berpotensi menimbulkan kesalahan administrasi atau ketidaklengkapan dokumen.
Kemudian potensi konflik hukum. Perubahan aturan di menit-menit terakhir dapat membuka ruang bagi konflik hukum. Calon atau partai politik yang merasa dirugikan bisa menggugat keputusan tersebut ke pengadilan, yang bisa memperlambat proses Pilkada dan menimbulkan ketidakpastian hukum.