Bandar Lampung (Lampost.co) – Pakar hukum tata negara (HTN) sekaligus peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas., Feri Amsari meminta agar Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dibubarkan. Seluruh sengketa pemilihan, termasuk masalah etik penyelenggara, katanya, dapat terselesaikan pada Mahkamah Konstitusi (MK).
Kemudian ia menegaskan, bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, dan DKPP merupakan penyelenggara yang bersifat satu kesatuan. Sebagai gambaran, ketiganya berdiri pada kamar yang berbeda dalam satu kamar. Namun, kenyataannya, Feri menyebut bahwa ketiga lembaga penyelenggara itu saat ini berdiri pada rumah yang berbeda.
“Ini akan menjadi problematika serius dalam penyelenggaraan pemilu,” katanya dalam diskusi bertajuk Evaluasi Penegakan Kode Etik Pemilu di Pusako, Jakarta, Senin, 5 Agustus 2024.
Selanjutnya Feri mengusulkan agar KPU menjadi satu-satunya penyelenggara pemilihan. Sementara, Bawaslu dan DKPP terbubarkan. Baginya, masalah etik yang menjerat penyelenggara pemilihan dapat terselesaikan lewat MK.
Hal itu berkaca dari praktik yang terterapkan oleh negara-negara bersistem presidensial lainnya. Menurut Feri, selain presiden, negara presidensial dapat memakzulkan hakim. Dalam konteks Indonesia, penyelenggara pemilu semestinya juga dapat termakzulkan pada MK. Ia mengingatkan, salah satu kewenangan MK adalah menangani sengketa lembaga negara.
“Begitu lembaga negara menjalankan kewenangan, dan teranggap sebagai masalah sengketa. Termasuk etik, warga negara bisa menyengketakannya pada MK. Kalau berhasil, yang tercita-citakan MK sedari dulu, yakni constitutional complaint, bisa jalan,” terang Feri.
Qurasi Peradilan
Kemudian Feri sendiri menilai DKPP periode saat ini tidak sepenuhnya mengerti tugas dan fungsi lembaga DKPP. Contoh sederhana adalah pemutaran lagu kebangsaan Indonesia Raya sebelum sidang DKPP mulai. Ia menilai, pemutaran lagu kebangsaan dalam lembaga quasi peradilan tidak perlu dilakukan.
“Bukannya lagu kebangasaan tidak penting ya. Tapi ketika dinyanyikan pada tempat yang tidak tepat, jadi salah,” ujarnya.
Sementara Feri berpendapat, lagu kebangsaan, umumnya saat momen penghormatan maupun kemenangan. Masalahnya, DKPP merupakan lembaga quasi peradilan yang bertugas memeriksa masalah-masalah etik penyelenggara pemilu. Baginya, prosedur peradilan pada DKPP bukanlah sesuatu yang patut untuk terayakan.
“Makanya MK, Mahkamah Agung nggak pernah nyanyi lagu kebangsaan. Ini tidak paham esensi DKPP-nya,” pungkas Feri.
Kemudian pada kesempatan yang sama, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menilai. DKPP saat ini cenderung terjebak pada anasir-anasir politik dalam menjatuhkan putusan. Salah satu contohnya tampak dalam tulisan opini Ketua DKPP Heddy Lugito dalam sebuah surat kabar nasional.
“Seolah-olah mereka (DKPP) ada pada persimpangan antara menegakan etika dan menjaga citra pemilu pada mata publik. Padahal hal itu tidak perlu menjadi sesuatu yang terbenturkan,” kata Titi.