• Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Iklan
  • Tentang Kami
  • E-Paper
Minggu, 15/06/2025 18:51
  • BERANDA
  • BOLA
  • TEKNOLOGI
  • EKONOMI BISNIS
    • BANK INDONESIA LAMPUNG
    • BANK SYARIAH INDONESIA
  • PENDIDIKAN
    • UNIVERSITAS TEKNOKRAT INDONESIA
    • UNILA
    • UIN LAMPUNG
    • U B L
    • S T I A B
  • KOLOM
    • OPINI
    • REFLEKSI
    • NUANSA
    • TAJUK
    • FORUM GURU
  • LAMPUNG
    • BANDARLAMPUNG
    • PEMKOT BANDARLAMPUNG
    • PEMPROV LAMPUNG
    • TULANG BAWANG BARAT
    • LAMPUNG BARAT
  • IKLAN PENGUMUMAN
  • INDEKS
No Result
View All Result
  • BERANDA
  • BOLA
  • TEKNOLOGI
  • EKONOMI BISNIS
    • BANK INDONESIA LAMPUNG
    • BANK SYARIAH INDONESIA
  • PENDIDIKAN
    • UNIVERSITAS TEKNOKRAT INDONESIA
    • UNILA
    • UIN LAMPUNG
    • U B L
    • S T I A B
  • KOLOM
    • OPINI
    • REFLEKSI
    • NUANSA
    • TAJUK
    • FORUM GURU
  • LAMPUNG
    • BANDARLAMPUNG
    • PEMKOT BANDARLAMPUNG
    • PEMPROV LAMPUNG
    • TULANG BAWANG BARAT
    • LAMPUNG BARAT
  • IKLAN PENGUMUMAN
  • INDEKS
No Result
View All Result
Home Humaniora

Adok, Penanda Adat

Mustaan by Mustaan
23/05/25 - 14:47
in Humaniora, Lampung, Refleksi
A A
adok

Ilustrasi (lampost.co)

adok
Oleh: Musta’an Basran
Jurnalis Lampung Post

DI tengah derasnya arus perubahan zaman, tak sedikit yang merasa tercerabut dari akar budayanya sendiri. Namun di bumi Lampung, sebuah warisan tetap bertahan dalam diam, hadir dalam rupa gelar adat yang melekat dalam setiap nama: adok. Ia tak sekadar penyematan nama baru, melainkan penanda yang menyatukan identitas, kehormatan, dan tanggung jawab sosial dalam satu bingkai adat: bejuluk adok.

Bagi masyarakat Lampung, baik Saibatin maupun Pepadun, adok bukan hanya gelar seremonial. Ia adalah hasil musyawarah, simbol pengakuan, sekaligus kompas moral bagi yang menyandangnya.

Di dalamnya tersimpan nilai-nilai luhur seperti piil-pusanggiri—rasa malu berbuat salah, menjaga martabat diri dan keluarga, serta menjunjung tinggi kehormatan komunitas.

Gelar adat seperti “Radin Penata” dan “Raja Kahut” bukan hasil rangkaian kata sembarangan. “Radin” mengacu pada status kekerabatan yang tinggi, warisan leluhur yang dijaga secara turun-temurun. Sementara “Penata” menunjukkan fungsi sosial seseorang—penata urusan publik, pengemban tanggung jawab birokrasi yang seharusnya bekerja dengan etika dan amanah. Demikian pula “Raja Kahut”, gelar yang menyiratkan status sosial tinggi sekaligus ungkapan kasih sayang dan penghormatan dari komunitas adat kepada sosok yang dianggap menjaga keseimbangan dan harmoni.

Makna ini hanya bisa hadir jika adok dipahami sebagai bagian dari nilai, bukan hanya simbol. Karena sesungguhnya, bejuluk adok adalah mekanisme sosial yang mengikat seseorang dalam etika dan tanggung jawab, bukan sekadar status.

Namun, realitas zaman modern membawa tantangan tersendiri. Ketika adok mulai dipandang sebagai pelengkap status sosial atau formalitas belaka, di situlah warisan ini terancam kehilangan substansinya. Ada kekhawatiran ketika proses tayuhan atau begawi adat hanya dijadikan ajang gengsi, bukan laku budaya. Padahal, setiap gelar adat yang disematkan sejatinya adalah penanda nilai yang harus dihidupi, bukan sekadar dikenakan.

Dalam banyak tayuhan yang masih berlangsung di wilayah Saibatin—seperti Liwa, Pesisir Barat, hingga Teluk Betung—dan begawi di wilayah Pepadun seperti Way Kanan, Gunung Sugih, atau Tulang Bawang, kita masih melihat generasi tua bersungguh-sungguh menjaga prosesi bejuluk adok.

Namun, belum tentu nilai yang mengiringi gelar adat itu juga turut diterjemahkan dalam laku hidup generasi mudanya.

Di sinilah letak pentingnya merawat makna. Adok adalah pengingat bahwa hidup tidak hanya soal hak dan kebebasan, tetapi juga kewajiban dan kesadaran akan peran. Dalam masyarakat yang makin individualistik, adok mengajarkan bahwa setiap individu adalah bagian dari struktur sosial yang saling terkait. Maka, menyandang adok berarti siap menjadi teladan, bukan sekadar penerima penghormatan.

Lebih dari itu, adok bisa menjadi pintu masuk untuk merawat ulang etika publik di tengah masyarakat kita. Dalam birokrasi, seorang “Radin Penata” yang paham nilai adok tidak akan sembarangan menyelewengkan wewenang. Dalam komunitas, seorang “Raja Kahut” akan menjadi tempat berteduh, bukan sekadar pemilik gelar.

Sayangnya, pendekatan terhadap nilai adat sering kali tercerabut dari ruang-ruang pendidikan dan media. Di sekolah, muatan lokal adat Lampung sering hanya menjadi pelajaran tambahan. Di ruang publik, perbincangan tentang gelar adat lebih sering berhenti pada bentuk luar: siapa yang diberi gelar, berapa biaya begawi, dan seremoninya. Padahal yang paling penting justru diskusi mengenai makna, filosofi, dan nilai yang menyertainya.

Jika nilai-nilai dalam adok bisa ditransformasikan ke dalam konteks kekinian, Lampung tidak hanya akan dikenal karena kekayaan adatnya, tetapi juga karena kekuatan moral masyarakatnya. Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap pemimpin dan pejabat, kembalinya kesadaran adat bisa menjadi suluh yang menuntun.

Maka perlu ada keberanian untuk merevitalisasi nilai-nilai adok dalam kehidupan sehari-hari. Lembaga adat harus lebih terbuka menjangkau generasi muda. Media perlu menghadirkan ruang-ruang edukatif yang menggali makna adok secara reflektif. Dan sekolah harus menjadikan nilai adat sebagai bagian dari karakter, bukan sekadar formalitas kurikulum.

Sebab pada akhirnya, adok adalah penanda bahwa kita bagian dari sesuatu yang lebih besar: warisan, tanggung jawab, dan harapan. Menjadi “Radin”, “Raja”, atau penyandang adok lainnya bukan sekadar tentang gelar, tapi tentang jalan hidup yang penuh kesadaran akan nilai dan tanggung jawab.

Dan di tengah hiruk-pikuk modernitas yang sering membuat kita lupa pada akar, adok hadir sebagai pengingat sunyi: bahwa identitas bukan hanya tentang siapa kita, tapi juga bagaimana kita menjalani hidup, untuk siapa, dan demi apa.

ShareSendShareTweet

Berita Lainnya

Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana

Rute Kereta Gantung Ditetapkan, Eva Dwiana Pastikan Tanpa Beban APBD

by Delima Napitupulu
15/06/2025

Bandar Lampung (Lampost.co)– Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung menetapkan rute terbaru pembangunan kereta gantung yang akan menjadi objek wisata baru...

Mobil tertimpa atap

BPBD Lampung Pantau Ketat Dampak Cuaca Ekstrem, 17 Rumah-12 Pohon Tumbang

by Delima Napitupulu
15/06/2025

Bandar Lampung (Lampost.co) – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Lampung terus memantau secara intensif dampak cuaca ekstrem yang melanda...

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyampaikan peringatan dini. Waspada banjir untuk wilayah Kota Bandar Lampung

Peringatan Dini Waspada Banjir Kota Bandar Lampung

by Triyadi Isworo
15/06/2025

Bandar Lampung (Lampost.co) – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyampaikan peringatan dini. Waspada banjir untuk wilayah Kota Bandar Lampung...

Load More
Facebook Instagram Youtube TikTok Twitter

Affiliated with:

Informasi

Alamat 
Jl. Soekarno – Hatta No.108, Hajimena, Lampung Selatan

Email

redaksi@lampost.co

Telpon
(0721) 783693 (hunting), 773888 (redaksi)

Sitemap

Beranda
Tentang Kami
Redaksi
Compro
Iklan
Microsite
Rss
Pedoman Media Siber

Copyright © 2024. Lampost.co - Media Group, All Right Reserved.

No Result
View All Result
  • BERANDA
  • BOLA
  • TEKNOLOGI
  • EKONOMI BISNIS
    • BANK INDONESIA LAMPUNG
    • BANK SYARIAH INDONESIA
  • PENDIDIKAN
    • UNIVERSITAS TEKNOKRAT INDONESIA
    • UNILA
    • UIN LAMPUNG
    • U B L
    • S T I A B
  • KOLOM
    • OPINI
    • REFLEKSI
    • NUANSA
    • TAJUK
    • FORUM GURU
  • LAMPUNG
    • BANDARLAMPUNG
    • PEMKOT BANDARLAMPUNG
    • PEMPROV LAMPUNG
    • TULANG BAWANG BARAT
    • LAMPUNG BARAT
  • IKLAN PENGUMUMAN
  • INDEKS

Copyright © 2024. Lampost.co - Media Group, All Right Reserved.