
Jurnalis Lampung Post
RAMADAN selalu mengajarkan tentang kesabaran. Bukan hanya dalam menahan lapar dan dahaga, tetapi juga dalam mengelola emosi, ego, dan sikap dalam menghadapi dinamika kehidupan. Tak terkecuali dalam dunia politik, di mana kesabaran menjadi kunci bagi siapa pun yang ingin tetap tegak dalam prinsip dan nilai perjuangannya.
Keputusan PDI Perjuangan untuk menolak kadernya yang menjabat sebagai kepala daerah mengikuti retreat yang digelar pemerintah pusat mencerminkan bentuk kesabaran politik yang diuji. Sikap ini diambil bukan tanpa alasan. PDIP ingin menegaskan posisinya sebagai partai yang masih berada di luar pemerintahan serta menjaga independensi kepala daerahnya dari agenda yang mereka anggap tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Namun, di sisi lain, keputusan ini juga memunculkan spekulasi bahwa PDIP sedang memainkan strategi politik untuk menekan pemerintah. Ini terjadi di tengah dinamika hukum yang melibatkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, yang diduga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap terkait buronan Harun Masiku. Meskipun KPK belum secara resmi mengumumkan status Hasto, PDIP secara terbuka menyatakan bahwa ada upaya kriminalisasi terhadap kadernya.
Pemerintahan Prabowo-Gibran harus menunjukkan bahwa mereka tidak mudah terprovokasi atau terjebak
Dalam politik, setiap langkah memiliki makna dan konsekuensi. Penolakan terhadap retret kepala daerah bisa saja bukan hanya sekadar menjaga jarak dari pemerintahan Prabowo-Gibran, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap tekanan yang mereka rasakan. Dengan kata lain, sikap ini bisa bermakna sebagai upaya PDIP untuk menunjukkan bahwa mereka masih memiliki daya tawar dalam percaturan politik nasional.
Namun, bulan Ramadan mengajarkan bahwa kesabaran adalah jalan terbaik dalam menghadapi ujian. Kesabaran bukan berarti pasif atau menghindari konflik, tetapi tetap konsisten dalam prinsip meskipun berhadapan pada tekanan dan opini publik yang beragam. Sejarah mencatat bahwa politik yang berlandaskan kesabaran cenderung lebih kokoh dan bertahan lama, daripada politik yang hanya mengandalkan pragmatisme sesaat.
Sebagaimana Ramadan melatih kita untuk menahan lapar demi meraih kemenangan spiritual
Bagi kepala daerah dari PDIP yang tidak boleh mengikuti retret, ini bisa menjadi ujian loyalitas. Sekaligus kesempatan untuk menunjukkan bahwa kepemimpinan mereka tidak hanya ditentukan oleh kehadiran dalam sebuah forum nasional. Tetapi juga oleh kinerja nyata di daerah masing-masing. Mereka harus membuktikan bahwa tanpa mengikuti agenda pemerintah pusat pun, mereka tetap bisa menjalankan tugasnya dengan baik untuk kepentingan rakyat.
Di sisi lain, bagi pemerintah, Ramadan bisa menjadi momentum untuk mengedepankan pendekatan yang lebih bijak dalam menyikapi dinamika politik. Pemerintahan Prabowo-Gibran harus menunjukkan bahwa mereka tidak mudah terprovokasi atau terjebak dalam permainan politik jangka pendek. Respons yang tenang, proporsional, dan tetap fokus pada agenda pembangunan akan lebih menunjukkan kepemimpinan yang kuat. Daripada ikut larut dalam tarik-menarik kepentingan politik.
Ramadan mengajarkan bahwa kemenangan sejati bukanlah soal siapa yang lebih cepat bereaksi. Tetapi siapa yang lebih kuat dalam menahan diri, berpikir jernih, dan bertindak dengan prinsip yang kokoh. Dalam politik, kesabaran bukanlah kelemahan, melainkan strategi. Sebagaimana Ramadan melatih kita untuk menahan lapar demi meraih kemenangan spiritual. Begitu pula politik mengajarkan bahwa menahan diri dari pragmatisme bisa menjadi langkah menuju kemenangan jangka panjang.
Wallahu a’lam.