MASYARAKAT lagi-lagi dikejutkan oleh tingkah laku elit pejabat negeri. Kali ini mengenai pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI atau RUU TNI. Bahkan, Komisi I DPR RI menggelar rapat panitia kerja (panja) ini di Hotel Fairmont Jakarta, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat-Sabtu (14-15/3).
Rapat itu berlangsung tertutup dan berlangsung hingga malam atau bahkan dini hari, hingga mengharuskan para anggota dewan menginap di hotel bintang lima tersebut. Akumulasi biaya rapat dan menginap untuk pembahasan RUU TNI di Fairmont Jakarta setidaknya mencapai Rp338,72 juta.
Rapat yang dilaksanakan di hotel mewah ini praktis menjadi sorotan masyarakat. Sebab, pembahasan RUU TNI digelar saat pemerintah sedang gencar melaksanakan efisiensi anggaran.
Bahkan, setelah melaksanakan efisiensi anggaran berdasar Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang senilai Rp306,69 triliun, Presiden Prabowo Subianto mengisyaratkan akan adanya efisiensi tambahan di masa depan, hingga nilai penghematan anggaran negara mencapai Rp750 triliun.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution, Ronny P. Sasmita, melihat rapat konsinyering RUU TNI di Fairmont Jakarta sebagai kontradiksi terhadap kebijakan efisiensi. Bahkan, menurutnya untuk kepentingan kekuasaan, efisiensi tidak berlaku. Sehingga, disebutnya juga sebagai efisiensi pilih kasih.
Pembahasan RUU TNI itu senter dengan kembalinya Dwi Fungsi ABRI di era kini.
Bila kita mengingat pada Orde Baru jaman Soeharto, Dwi Fungsi ABRI merupakan doktrin yang pernah mengukuhkan peran ganda Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam bidang pertahanan dan politik selama Orde Baru.
Meski secara resmi telah berakhir, semangat Dwi Fungsi ABRI dalam bentuk lain masih terasa. Beberapa indikator yang mencerminkan kembalinya pengaruh militer dalam kehidupan sipil. Pertama, penempatan Perwira TNI di jabatan sipil. Sejak pemerintahan Jokowi, terjadi peningkatan jumlah perwira aktif di jabatan sipil, seperti kementerian dan lembaga negara. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa militer kembali memainkan peran politik yang seharusnya sudah terhapus.
Kedua, keterlibatan TNI dalam penanganan keamanan sipil. Peran TNI dalam penanganan bencana alam, pandemi, dan konflik sosial semakin diperluas.
Sementara di satu sisi hal ini dapat membantu stabilitas, di sisi lain ada kekhawatiran bahwa kehadiran TNI di ranah sipil dapat mengikis supremasi hukum sipil. Ketiga, wacana revisi UU TNI. Wacana revisi UU yang memberi peluang lebih luas bagi TNI untuk berperan dalam urusan sipil terus bergulir.
Adanya Revisi UU TNI mendapat penolakan dari berbagai pihak. Bahkan, Koalisi Masyarakat Sipil mengeluarkan petisi ‘Tolak Kembalinya Dwifungsi melalui Revisi UU TNI’. Isi petisi tersebut terkait pasal-pasal yang direvisi berdasarkan daftar inventaris masalah (DIM), yang diajukan oleh pemerintah. Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan revisi RUU TNI tak memiliki urgensi yang membawa TNI ke arah lebih profesional. Petisi juga menyebutkan TNI dipersiapkan untuk perang, bukan untuk mengisi jabatan sipil.
Koalisi Masyarakat Sipil meminta perwira aktif TNI segera mengundurkan diri jika menduduki jabatan sipil.
Salah satu poin dalam pembahasan RUU TNI ini adalah mengatur jumlah kementerian dan lembaga yang dapat terisi oleh prajurit TNI aktif bertambah dari semula hanya 10 kini menjadi 14 usulan lembaga. Tambahan pos baru yang bisa jadi tempat TNI aktif itu meliputi BNPB, BNPT, dan Kejaksaan Agung, dan BNPP.
Kembalinya peran militer dalam ranah sipil memunculkan pro dan kontra. Dari sisi positif, kehadiran TNI di jabatan sipil dapat memberikan disiplin dan efisiensi dalam birokrasi.
Namun, dampak negatifnya adalah berkurangnya ruang bagi sipil dalam tata kelola pemerintahan, serta potensi melemahnya demokrasi jika tidak ada mekanisme pengawasan yang jelas.
Dwi Fungsi ABRI dalam bentuk klasik memang telah terhapus, tetapi semangatnya masih terlihat dalam berbagai kebijakan di era kini. Transformasi militer di Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk benar-benar beradaptasi dengan demokrasi. Keseimbangan antara profesionalisme militer dan supremasi sipil harus tetap terjaga agar tidak mengulang sejarah yang pernah terjadi.