PEMUNGUTAN Suara Ulang (PSU) Pilkada 2024 di Kabupaten Pesawaran menjadi bukti nyata buruknya penyelenggaraan pemilu di daerah tersebut. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mendiskualifikasi calon Bupati Aries Sandi Darma Putra karena ijazah SLTA yang tidak sah menunjukkan adanya kelalaian serius dalam verifikasi administrasi. Seharusnya, proses pencalonan sudah menyaring kandidat yang tidak memenuhi syarat, bukan membiarkan kesalahan ini hingga ke tahap pemungutan suara.
Hal ini menunjukkan adanya dasar hukum yang dilanggar KPU Pesawaran saat itu. Terutama Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur bahwa calon kepala daerah harus memiliki ijazah minimal SLTA. Kelalaian atau pelanggaran itu membuat Aries Sandi tetap lolos sebagai calon hingga pemungutan suara, yang menandakan lemahnya proses verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kurangnya pengawasan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Ini bukan sekadar kelalaian teknis, tetapi kesalahan sistemik yang mencederai demokrasi. Jika proses verifikasi berjalan dengan benar, masyarakat tidak perlu kembali ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), dan miliaran rupiah dana publik tidak akan terbuang percuma untuk PSU.
Untuk diketahui Penyelenggaraan Pilkada Pesawaran 2024 sudah menghabiskan anggaran sekitar Rp28 miliar. Kini, dengan adanya PSU, biaya tambahan yang cukup besar harus dikeluarkan lagi. Anggaran ini seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan daerah, tetapi malah habis akibat kesalahan yang seharusnya bisa dicegah sejak awal.
Selain membebani anggaran, PSU juga berdampak pada stabilitas politik dan pemerintahan. Proses pemilu yang berlarut-larut menunda berbagai kebijakan strategis yang seharusnya bisa segera dijalankan oleh pemimpin terpilih.
KPU dan Bawaslu harus lebih teliti dalam mencermati setiap tahapan yang dilakukan termasuk persyaratan calon, yang utama yakni ijazah SLTA
Hal yang m,enajdi catatan adalah kasus PSU di Pesawaran harus menjadi evaluasi menyeluruh bagi penyelenggara pemilu. Setidaknya ada tiga hal yang harus segera diperbaiki yakni memperketat verifikasi administrasi.Dengan begitu KPU harus bekerja lebih teliti dalam memeriksa dokumen calon dengan melibatkan instansi terkait seperti Disdukcapil dan Dinas Pendidikan.
Kemudian ke dua mengoptimalisasi peran Bawaslu. Yakni Bawaslu harus lebih proaktif dalam mengawasi keabsahan dokumen calon, bukan hanya menunggu laporan. Yang tidak kalah penting hal ini meruapakan tanggung jawab penyelenggara. Artinya Jika terbukti ada kelalaian, pejabat KPU dan Bawaslu yang bertanggung jawab harus diberikan sanksi tegas.
Rapor merah penyelenggaraan Pilkada Pesawaran ini harus menjadi pelajaran bagi daerah lain agar tidak mengulang kesalahan serupa. Jika sistem pemilu terus dibiarkan ceroboh, maka demokrasi akan terus ternoda, dan kepercayaan publik terhadap proses pemilihan akan semakin menurun. Integritas penyelenggara KPU tentu menyebabkan juga jebloknay kepercayaan masyarakat terhadap hasil PSU.
Jangan sampai PSU yang dianggaran lagi APBD yang masih dalam posisi efisiensi justru tidak bisa melegitimasi pemimpin daerah terpilih karena ketidak percayaan terhadap lembaga penyelenggara. KPU dan Bawaslu harus lebih teliti dalam mencermati setiap tahapan termasuk persyaratan calon, yang utama yakni ijazah SLTA. Andaipun Ijazah sarjananya tidak diakui, setidaknya ijazah SLTA maish bias jadi syarat. Lain jika ijazah SLTA nya yang batal, maka akan fatal akibatnya.n