• Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Iklan
  • Tentang Kami
  • E-Paper
Sabtu, 27/09/2025 00:46
  • BERANDA
  • BOLA
  • TEKNOLOGI
  • EKONOMI BISNIS
    • BANK INDONESIA LAMPUNG
    • BANK SYARIAH INDONESIA
    • BANK LAMPUNG
    • OTOMOTIF
  • PENDIDIKAN
    • UNIVERSITAS TEKNOKRAT INDONESIA
    • UNILA
    • UIN LAMPUNG
    • U B L
    • S T I A B
  • KOLOM
    • OPINI
    • REFLEKSI
    • NUANSA
    • TAJUK
    • FORUM GURU
  • LAMPUNG
    • BANDARLAMPUNG
    • PEMKOT BANDARLAMPUNG
    • PEMPROV LAMPUNG
    • TULANG BAWANG BARAT
    • LAMPUNG BARAT
  • IKLAN PENGUMUMAN
  • INDEKS
No Result
View All Result
  • BERANDA
  • BOLA
  • TEKNOLOGI
  • EKONOMI BISNIS
    • BANK INDONESIA LAMPUNG
    • BANK SYARIAH INDONESIA
    • BANK LAMPUNG
    • OTOMOTIF
  • PENDIDIKAN
    • UNIVERSITAS TEKNOKRAT INDONESIA
    • UNILA
    • UIN LAMPUNG
    • U B L
    • S T I A B
  • KOLOM
    • OPINI
    • REFLEKSI
    • NUANSA
    • TAJUK
    • FORUM GURU
  • LAMPUNG
    • BANDARLAMPUNG
    • PEMKOT BANDARLAMPUNG
    • PEMPROV LAMPUNG
    • TULANG BAWANG BARAT
    • LAMPUNG BARAT
  • IKLAN PENGUMUMAN
  • INDEKS
No Result
View All Result
Home Lampung

Segubal, Dapur Tradisi Lampung Menuju Agenda Ketahanan Pangan

Di Lampung, jawaban itu bernama segubal atau sekubal—pangan khas berbahan beras ketan dan santan, dibungkus daun pisang, dimasak pelan hingga delapan–sepuluh jam

MustaanbyMustaan
26/09/25 - 18:45
in Lampung, Tajuk Lampung Post
A A
dapur tradisi

Ilustrasi Segubal atau Sekubal (lampost.co/dok)

dapur tradisi
Oleh :
Erlina Rufaidah (Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Unila) dan Musta’an Basran (Penulis Budaya Lampung)

DI tengah riuhnya wacana swasembada dan ancaman krisis pangan global, dapur tradisi sering kali menawarkan jawaban yang sederhana namun berdaya tahan panjang. Di Lampung, jawaban itu bernama segubal atau sekubal—pangan khas berbahan beras ketan dan santan, dibungkus daun pisang, dimasak pelan hingga delapan–sepuluh jam. Sekilas ia mirip lontong, tetapi rasa gurih-legit, tekstur kenyal, dan cara pengolahannya menjadikan segubal lebih dari sekadar “makanan acara”; juga menjadi penanda identitas dan cadangan energi yang lahir dari kearifan lokal.

 

Jejak Rasa, Jejak Identitas

Segubal hadir pada momen-momen penting: Lebaran, khitanan, nayuh (pesta adat), hingga syukuran keluarga. Prosesnya melibatkan banyak tangan dan obrolan; bambu bakar di halaman, air santan yang diaduk sabar, daun pisang yang dibersihkan satu per satu. Anak-anak menonton, para orang tua menakar rasa—sebuah “kelas” lintas generasi yang sunyi dari teori tetapi kuat dalam praktik. Di sinilah segubal memegang peran sosial: ia merekam kebersamaan dan mendistribusikan pengetahuan. Bahwa makanan tidak lahir dari resep semata, tapi dari relasi, waktu, dan kesabaran.

Momentum budaya itu bukan romantisasi. Dalam konteks hari ini—ketika pangan semakin dipengaruhi oleh rantai pasok panjang, logistik mahal, dan selera serba instan—segubal mengajarkan tiga nilai. Pertama, kemandirian bahan: beras ketan, santan, daun pisang—semuanya tumbuh di sekitar kita. Kedua, energi tahan lama: kombinasi karbohidrat ketan dan lemak santan memberi rasa kenyang lebih panjang, cocok untuk kerja-kerja fisik masyarakat agraris. Ketiga, ketahanan sosial: kerja bersama menciptakan jejaring saling bantu saat krisis.

Tak heran jika segubal kerap menjadi ikon promosi budaya Lampung; bahkan segubal raksasa pernah memecahkan rekor MURI. Namun penghormatan simbolik akan kurang bermakna jika tidak diikuti kebijakan pangan yang menempatkan segubal dan bahan bakunya, terutama beras ketan, dalam skema diversifikasi yang nyata.

 

Lumbung Pangan

Lampung adalah salah satu lumbung pangan nasional. Pada 2023, produksi beras untuk konsumsi di provinsi ini diperkirakan sekitar 1,59 juta ton, dengan luas panen padi ±530 ribu hektare dan produksi GKG ±2,76 juta ton. Di Kabupaten Lampung Barat—daerah yang kuat tradisi kulinernya—produksi padi 2022 sekitar 62,8 ribu ton (setara ±36,1 ribu ton beras). Angka-angka ini menggambarkan kapasitas produksi yang besar.

Akan tetapi, ada celah penting: data spesifik beras ketan masih minim dalam statistik publik. Padahal, ketan bukan varietas “sisa”; ia memerlukan lahan, benih, dan perlakuan budidaya yang berbeda dari padi konsumsi harian. Banyak petani beralih ke varietas padi biasa—lebih cepat panen, pasar lebih lebar, harga lebih stabil. Alih fungsi lahan ke perkebunan dan permukiman menambah tekanan. Hasilnya, ketersediaan ketan sebagai bahan baku segubal kian terbatas, harganya fluktuatif, dan tradisi kulinernya menggantung pada stok musiman.

Jika kita serius menyebut segubal sebagai bagian dari ketahanan pangan lokal, maka data ketan mesti hadir dalam perencanaan pangan daerah. Tanpa angka, kebijakan mudah bias ke komoditas besar yang sudah nyaman dalam keberadaannya.

 

Kebijakan Yang Mengangkat

Kerangka hukum Indonesia sesungguhnya memberi ruang luas untuk mengangkat segubal dan pangan lokal sejenis ke tingkat kebijakan. Yakni misalnya UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan: menegaskan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan; mendorong diversifikasi dan pemenuhan gizi berbasis sumber daya lokal. 

Kemudian ada juga PP No. 17/2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi: memandatkan penguatan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan secara berkelanjutan. Ditunjang lagi Perpres No. 66/2021: membentuk Badan Pangan Nasional, mempertegas orkestrasi hulu–hilir, termasuk pengembangan pangan lokal. 

Disamping itu UU No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan: mendorong pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan objek pemajuan kebudayaan—kuliner tradisional termasuk di dalamnya. Apalagi ada Agenda SDGs 2030 (Tujuan 2: Zero Hunger): menekankan akses pangan bergizi, sistem pangan berkelanjutan, dan pelestarian pengetahuan tradisional.

Artinya, mandat hukum untuk mengangkat segubal bukan diminta-minta; ia sudah ada. Pekerjaan rumahnya adalah mengintegrasikan mandat itu ke dalam Rencana Aksi Pangan Daerah, RPJMD, hingga kalender promosi budaya lintas dinas (pertanian, pariwisata, pendidikan, koperasi/UMKM).

 

Bukan Sekadar Resep Masakan

Mari melihat lagi dapur segubal, lebih dekat. Bahan utamanya beras ketan pilihan—direndam, dicuci, lalu disatukan dengan santan yang kental. Semua masuk ke bungkus daun pisang, diikat rapi, kemudian dikukus lama di tungku atau panci besar. Api dijaga konsisten, tak boleh terlalu besar agar tidak “membelah” tekstur. Waktu yang panjang—delapan sampai sepuluh jam—bukan sekadar teknik, tetapi “metronom” sosial: ruang orang bercakap, saling menguatkan, menegosiasikan rencana hajatan, hingga menyusun strategi panen.

Segubal lazim dipasangkan dengan rendang, opor ayam, sambal, atau bahkan tape ketan. Kombinasi ini menunjukkan fleksibilitas budaya: sajian bisa beradaptasi dengan selera, dompet, dan musim. Pada skala ekonomi, segubal menghidupkan rantai pasok lokal: petani ketan, pedagang santan, pengolah daun pisang, penyedia kayu bakar/elpiji, hingga penjual lauk.

Dengan kata lain, segubal adalah ekosistem mini yang mempraktikkan kedaulatan pangan: dekat, terjangkau, dan berkelanjutan.

 

Relevan untuk Ketahanan Pangan?

Di lihat dari berbagai unsur, bisa dikatakan penganan Segubal relevan menjadi bahan untuk ketahanan pangan nasional. Pertama, diversifikasi karbohidrat. Ketergantungan berlebih pada beras putih menimbulkan kerentanan: satu gangguan iklim atau serangan hama mengganggu suplai luas. Ketan—meski porsi produksinya kecil—adalah bantalan alternatif. Segubal menjadi produk hilir yang “menjaga” permintaan ketan tetap hidup.

Kedua, daya simpan dan mobilitas. Segubal yang diolah baik dapat bertahan lebih lama, mudah dipindah, praktis saat acara besar, tanggap pula sebagai pangan cadangan rumah tangga (household buffer). Ketiga, gizi dan kenyang lebih lama. Kombinasi ketan–santan menghadirkan energi padat yang cocok untuk kerja fisik dan aktivitas panjang. Di tengah isu gizi seimbang, segubal bisa diposisikan sebagai pangan pokok alternatif pada momen tertentu, dilengkapi lauk berprotein agar bernutrisi lengkap.

Kemudian, Keempat, ekonomi kreatif kuliner. Segubal dapat diolah ulang: varian mini, rasa pedas/kecombrang/keju, frozen segubal untuk oleh-oleh, hingga paket hantaran. Ini memperpanjang nilai ekonomi dan membuka ruang UMKM.

 

Tantangan yang Harus Diakui

Namun jalan tidak tanpa rintangan. Pertama, ketersediaan ketan di Lampung cenderung terbatas akibat alih fungsi lahan dan preferensi petani terhadap padi konsumsi cepat panen. Kedua, kurikulum pasar (selera konsumen) mendorong makanan instan, sehingga pangan tradisional dianggap “repot”. Ketiga, minimnya data membuat perencanaan ketan tak mendapat porsi kebijakan. Keempat, rantai distribusi daun pisang dan santan segar di perkotaan kadang timpang, menaikkan biaya produksi.

Tantangan-tantangan ini nyata, tetapi bukan alasan untuk menyerah. Ia justru peta masalah yang membantu kita menyusun peta jalan.

Beragam kebijakan yang bisa dilakukan dalam mengembangkan pangan segubal  agar mampu menjadi sumber katahanan pangan itu. Yang pertama membangun data ketan di Lampung, di mana Dinas pertanian/pangan perlu memisahkan pencatatan ketan dari padi konsumsi: luas tanam, produktivitas, harga di tingkat petani, musim puncak. Data menjadi dasar insentif benih, pendampingan budidaya, dan akses pasar.

Kemudian, pemberian insentif petani dan klister ketan. Bentuk klaster ketan desa–kecamatan dengan jaminan offtaker (UMKM segubal, koperasi, BUMDes). Sediakan benih unggul ketan lokal, pelatihan budidaya spesifik (pemupukan, pengairan), dan skema harga dasar pada musim paceklik.

 

Segubal sebagai Produk Strategis Daerah

Masukkan segubal dalam Rencana Induk Kepariwisataan & event tahunan (festival segubal, lomba kreasi rasa). Padukan dengan wisata edukasi: tur kebun ketan, demo masak tradisional, hingga workshop bungkus daun pisang. Ini menyinergikan dinas pangan, pariwisata, pendidikan, dan koperasi/UMKM. Selain itu mendorong R&D kuliner: frozen segubal, kemasan retort, label gizi, Sertifikat Laik Hygiene, PIRT–Halal, hingga HKI untuk merek kolektif. Standardisasi membuka pintu ritel modern dan marketplace.

Tidak lupa juga mengintegrasikan segubal ke projek penguatan profil pelajar Pancasila (kebudayaan & wirausaha), muatan lokal gizi, dan demo masak di sekolah. Ini melahirkan penikmat baru dan pelaku baru—kunci regenerasi tradisi.

Tags: budayadiversifikasijurnalistikkaryakolomkrisisOpiniPANGANsegubalsekubaltradisitulisan
ShareSendShareTweet

Berita Lainnya

Tiga Sekolah Rakyat Rintisan Mulai Beroperasi di Lampung

Tiga Sekolah Rakyat Rintisan Mulai Beroperasi di Lampung

byRicky Marlyand1 others
26/09/2025

Bandar Lampung (Lampost.co) -- Program Sekolah Rakyat (SR) rintisan di Provinsi Lampung mulai berjalan dengan membuka tiga titik operasional di...

Sekolah Rakyat di Lampung akan Ada di Dua Daerah

Sekolah Rakyat di Lampung akan Ada di Dua Daerah

byRicky Marlyand1 others
26/09/2025

Bandar Lampung (Lampost.co) -- Provinsi Lampung menjadi salah satu daerah yang mendapatkan kepercayaan dari pemerintah pusat untuk melaksanakan program Sekolah...

peresmian Desa Binaan Imigrasi, Kamis, 26 September 2025.

Desa Binaan Imigrasi Jadi Garda Terdepan Cegah PMI Ilegal

byDelima Napitupuluand1 others
26/09/2025

Bandar Lampung (Lampost.co) -- Desa Way Layap, Gedong Tataan, Pesawaran resmi menjadi desa binaan Kantor Wilayah Ditjen Imigrasi Lampung. Program...

Load More
Facebook Instagram Youtube TikTok Twitter

Affiliated with:

Informasi

Alamat 
Jl. Soekarno – Hatta No.108, Hajimena, Lampung Selatan

Email

redaksi@lampost.co

Telpon
(0721) 783693 (hunting), 773888 (redaksi)

Sitemap

Beranda
Tentang Kami
Redaksi
Compro
Iklan
Microsite
Rss
Pedoman Media Siber

Copyright © 2024. Lampost.co - Media Group, All Right Reserved.

No Result
View All Result
  • BERANDA
  • BOLA
  • TEKNOLOGI
  • EKONOMI BISNIS
    • BANK INDONESIA LAMPUNG
    • BANK SYARIAH INDONESIA
    • BANK LAMPUNG
    • OTOMOTIF
  • PENDIDIKAN
    • UNIVERSITAS TEKNOKRAT INDONESIA
    • UNILA
    • UIN LAMPUNG
    • U B L
    • S T I A B
  • KOLOM
    • OPINI
    • REFLEKSI
    • NUANSA
    • TAJUK
    • FORUM GURU
  • LAMPUNG
    • BANDARLAMPUNG
    • PEMKOT BANDARLAMPUNG
    • PEMPROV LAMPUNG
    • TULANG BAWANG BARAT
    • LAMPUNG BARAT
  • IKLAN PENGUMUMAN
  • INDEKS

Copyright © 2024. Lampost.co - Media Group, All Right Reserved.