SEJUMLAH pakar ekonomi meramal nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat bisa menembus di angka Rp18.000 per USD. Ini tentunya menjadi tamparan keras bagi wajah perekonomian nasional. Hal tersebut bukan sekadar angka psikologis di pasar valuta asing layaknya krisi moneter (krismon) tahun 1998. Namun sebagai refleksi langsung dari rapuhnya sistem ekonomi yang seharusnya sudah jauh lebih tangguh setelah lebih dari dua dekade reformasi.
Di hari pertama rupiah kembali ke pasar spot setelah libur panjang Idulfitri 1446 Hijriah, kurs rupiah merosot jauh mendekati Rp17.000. Pada Senin (7/4/2025), rupiah di pasar spot dibuka di titik rendah Rp16.898 per dolar AS mendekati nilai saat krismon. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah semakin terperosok hingga menyentuh Rp16.941 pada pukul 9.52 WIB.
Angka ini membawa nilai tukar rupiah ke titik terendah sepanjang masa, bahkan menandingi rekor terendah di Rp16.650 pada masa krismon 1998.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan meramal rupiah akan tembus Rp18.000 per dolar AS. Menurutnya, anjloknya rupiah sperti saat krismon itu sebenarnya tidak mengejutkan, tinggal menunggu waktu saja. Karena secara fundamental Indonesia tidak ada kekuatan untuk menahan rupiah.
Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong meramal rupiah bisa melemah mencapai Rp20.000 per dolar AS. Sementara negara tetangga Singapura, Channel News Asia (CNA) pun melaporkan bahwa nilai rupiah terhadap dolar ambruk tak lama setelah pembukaan pasar usai libur panjang. Ambruknya rupiah ini disebut imbas penetapan tarif resiprokal Presiden AS Donald Trump.
Kemudian ada Al-Jazeera yang mengabarkan penurunan nilai tukar rupiah sebesar 8% sejak Prabowo Subianto dilantik menjadi presiden. Menurut media ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada pada posisi terendah sepanjang sejarah.
Mereka juga menulis bahwa penurunan rupiah terjadi sejak sebelum Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor.
Sayangnya, terperosoknya nilai mata uang RI ini justru membuka borok lama yang belum benar-benar disembuhkan dari ketergantungan pada pembiayaan luar negeri, minimnya nilai tambah ekspor, lemahnya sektor industri, serta respons kebijakan yang sering kali lambat dan reaktif.
Kondisi saat ini tentu berbeda dari 1998. Indonesia tidak lagi terjebak dalam utang luar negeri jangka pendek dari sektor swasta dan sistem perbankan yang lebih stabil. Namun tekanan global saat ini, terutama dari agresivitas kebijakan moneter AS, perlambatan Tiongkok, dan ketegangan geopolitik, membuat ketahanan ekonomi nasional diuji secara ekstrem.
Tetapi perlu dicatat bahwa krisis moneter bukan hanya soal faktor eksternal, tapi juga soal ketangguhan internal.
Di sinilah dunia bisa melihat bahwa Indonesia belum benar-benar siap.
Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan perlu menyatukan langkah dalam menjaga stabilitas makro. Tidak cukup hanya dengan intervensi pasar valas, diperlukan juga kebijakan suku bunga yang sinkron dengan pengetatan global dan stimulus fiskal yang diarahkan secara strategis.
Pemerintah harus mempercepat pembangunan industri dalam negeri yang mampu mengurangi ketergantungan pada barang impor, terutama untuk sektor energi dan pangan. Substitusi impor bukan hanya strategi, tapi keharusan dalam menghadapi tekanan eksternal.
Ekspor RI masih terlalu bergantung pada komoditas mentah yang rentan fluktuasi harga. Pemerintah harus mempercepat hilirisasi industri dan mendorong ekspor produk dengan nilai tambah tinggi untuk memperkuat cadangan devisa secara berkelanjutan.
Dalam situasi krisis, masyarakat dan pasar membutuhkan kepastian arah, bukan sekadar retorika. Pemerintah harus terbuka terhadap tantangan ekonomi yang ada dan menyampaikan langkah konkret yang sedang dan akan diambil.
Transparansi adalah salah satu alat untuk menjaga kepercayaan pasar.
Pemerintah harus menjadikan momen ini sebagai titik balik, bukan sekadar masa sulit yang coba dilalui dengan tambal sulam kebijakan jangka pendek. Ini saatnya menata ulang prioritas pembangunan ekonomi secara serius, memperkuat sektor riil, memperluas basis ekspor, dan melepaskan ketergantungan berlebihan terhadap utang dan komoditas.
Indonesia butuh strategi ekonomi yang bukan hanya menenangkan pasar, tetapi juga memberi harapan nyata bagi rakyat.
Pemerintah harus berhenti bersikap reaktif dan mulai membangun narasi serta kebijakan yang antisipatif. Biarlah krisis moneter 1998 hanya menjadi sejarah. Biarlah itu menjadi pengingat bukan menjadi tragedi yang berulang.