Jakarta (Lampost.co)— Amerika Serikat resmi membatalkan rencana pemberlakuan tarif tinggi terhadap barang elektronik impor dari China, termasuk smartphone seperti iPhone. Kabar ini membawa angin segar, tidak hanya bagi konsumen di AS. Tetapi juga bagi raksasa teknologi seperti Apple dan investor teknologi global.
Ancaman Tarif 145% dari Pemerintah AS
Sebelumnya, dunia industri sempat dihebohkan dengan rencana kebijakan perdagangan kontroversial yang diusung mantan Presiden Donald Trump. Pemerintah AS berencana memberlakukan tarif hingga 145% terhadap barang-barang elektronik buatan China yang masuk ke pasar AS. Langkah ini di sebut sebagai bagian dari strategi untuk menekan ketergantungan pada China dan melindungi industri dalam negeri.
Kebijakan ini sempat memicu kekhawatiran di kalangan pelaku industri dan konsumen. Pasalnya, sebagian besar produk Apple. Termasuk sekitar 80% iPhone yang menjual di Amerika Serikat, produksinya di China, sementara sisanya dibuat di India. Jika tarif tersebut berlaku, harga iPhone di AS bisa melonjak hingga ratusan dolar, menurut para analis.
Baca juga: Bocoran iPhone 17 Pro Max: Desain Baru, Kamera Canggih, dan Performa Makin Ganas!
Namun, dalam perkembangan terbaru, pemerintah AS memutuskan untuk tidak memberlakukan tarif terhadap produk elektronik seperti smartphone. Monitor komputer, dan berbagai komponen elektronik lainnya. Dengan demikian, iPhone tidak jadi mengalami kenaikan harga drastis, dan Apple bisa bernafas lega.
Strategi Apple
Meskipun pada akhirnya tarif tidak jadi diberlakukan, Apple telah mengambil langkah antisipatif menghadapi potensi krisis tersebut. Dalam beberapa pekan terakhir, perusahaan melaporkan mempercepat produksi di India untuk mengurangi ketergantungan pada pabrik di China.
Reuters menyebut bahwa Apple bahkan menyewa penerbangan kargo untuk mengirim lebih dari 600 ton iPhone dari India ke Amerika Serikat. Hal ini sebagai bagian dari strategi darurat jika tarif diberlakukan.
Langkah ini juga sejalan dengan upaya jangka panjang Apple dalam mendiversifikasi rantai pasokan globalnya. India dan Vietnam kini menjadi alternatif utama untuk produksi perangkat keras. Mengikuti jejak perusahaan lain seperti Samsung yang telah lebih dulu membangun basis produksi di luar China.
Dampak Kenaikan Global Masih Jadi Opsi
Menurut Ben Wood dari CCS Insight, jika tarif tetap diberlakukan, Apple kemungkinan besar akan memilih menaikkan harga iPhone secara global. Ketimbang membebankan biaya hanya kepada konsumen AS. “Tidak mungkin perusahaan ingin memiliki harga yang berbeda secara global,” ujarnya.
Sementara itu, analis dari Forrester, Dipanjan Chatterjee, menilai Apple berada dalam posisi yang cukup kuat. Dengan margin keuntungan yang sangat tinggi, Apple dinilai mampu menyerap sebagian kenaikan biaya tanpa dampak finansial besar, setidaknya dalam jangka pendek.
Ia juga menyoroti loyalitas merek Apple yang luar biasa tinggi, yang memungkinkan perusahaan tetap membebankan biaya tambahan ke konsumen tanpa menimbulkan eksodus besar-besaran ke merek Android. “Apple memiliki pengikut setia, dan mereka tidak mudah berpindah meski harga naik,” tegasnya.
Investor dan Pasar Menyambut Positif
Analis dari Wedbush menyebut keputusan pembatalan tarif ini sebagai “berita terbaik bagi investor teknologi dalam beberapa bulan terakhir.” Dengan tidak adanya tambahan beban biaya produksi dan penyaluran, Apple dan perusahaan teknologi lain bisa mempertahankan strategi harga dan menjaga daya beli konsumen tetap stabil.
Amerika Serikat merupakan pasar terbesar bagi Apple, menyumbang lebih dari 50% penjualan iPhone secara global tahun lalu menurut data Counterpoint Research. Oleh karena itu, keputusan ini memberikan kepastian besar bagi kelangsungan bisnis Apple di pasar utamanya.
Konsumen dan Apple Sama-sama Untung
Dengan pembatalan tarif impor terhadap produk elektronik dari China, harga iPhone dan perangkat elektronik lain tidak jadi mengalami kenaikan tajam. Apple, yang sebelumnya bersiap menghadapi skenario terburuk. Kini bisa lebih fokus pada penguatan rantai pasokan alternatif dan inovasi produk tanpa dibayangi beban biaya produksi tambahan.
Kebijakan ini juga menegaskan pentingnya fleksibilitas dalam rantai pasokan global dan respons cepat perusahaan teknologi dalam menghadapi ketidakpastian geopolitik.