Sidoarjo (lampost.co)– Suasana haru dan penuh kecemasan masih menyelimuti Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo. Lokasi itu kini menjadi pusat penantian ratusan wali santri yang setiap hari berharap kabar baik tentang anak-anak mereka. Hingga hari keempat pasca-ambruknya musala, doa dan tangis terus mengiringi proses evakuasi yang belum tuntas.
Salah satu yang merasakan beratnya penantian adalah Sundari, warga Gresik. Ia tak henti-hentinya menunggu kabar putranya, Ahmad Gifari Haikal Nur (17), yang hingga kini belum diketahui keberadaannya. Sundari masih mengingat jelas momen saat seorang ustaz menghubunginya lewat telepon pada hari kejadian.
“Pokoknya ibu ke pondok sekarang. Cuma begitu,” ucap Sundari, mengenang panggilan singkat tersebut.
Saat tiba di lokasi, ia baru menyadari betapa besar musibah yang menimpa pesantren setelah membaca pesan-pesan di grup wali santri.
Namun, penantian panjang itu semakin berat karena beberapa kali muncul kabar yang membuat hati keluarga campur aduk. Nama Haikal, kata Sundari, ternyata cukup banyak dimiliki para santri di pondok tersebut.
“Di pondok ini nama Haikal ada banyak, mungkin lima sampai tujuh anak. Jadi setiap ada kabar evakuasi nama Haikal, kami gembira. Ternyata bukan Haikal anak saya, tapi Haikal yang lain,” ucapnya lirih.
Meski penuh duka, para orang tua akhirnya merelakan tim SAR menggunakan alat berat dalam pencarian. Keputusan itu diambil setelah pihak berwenang menjelaskan bahwa tanda-tanda kehidupan di reruntuhan sudah tidak terdeteksi.
Bagi Sundari, yang terpenting sekarang adalah agar proses evakuasi tidak terhenti. Ia berharap tim SAR terus bekerja tanpa jeda, bahkan dengan pergantian shift sekalipun.
“Saya berharap evakuasi jangan berhenti. Kalau bisa ganti shift, jangan ada jeda. Kami ingin anak-anak segera ditemukan,” pinta Sundari dengan mata berkaca-kaca.








